Senin, 10 Maret 2014

KELUARGA PANDAWA

Nafsu yang bermacam-macam diperankan dalam pentas wayang oleh keluarga besar Kurawa. Nafsu merupakan lapisan terluar dari jiwa manusia, meneruskan tuntutan kedagingan. Adanya nafsu-nafsu merupakan pernyataan alamiah dari kenyataan adanya kesadaran akan jasmani dan merupakan suatu kodrat alam untuk memelihara adanya jasmani, selama jasmani masih diperlukan sebagai alat-alat pelaksana. Tuntutan kedagingan itu timbul secara otomatis. Agar supaya pemenuhan terhadap tuntutan kejasmanian itu terarah, kemaha bijaksanaan hidup yang meliputi semuanya, merefleksi didalam jiwa. Refleksi ini tercermin secara terus menerus dan tertangkap oleh laporan jiwa yang terdalam yang di dalam pernyataannya disadari sebagai cipta, nalar dan pengerti atau secara keseluruhan disebut angan-angan.
Dengan demikian laporan jiwa itu atau angan-angan itu berkemampuan utnuk menangkap refleksi dari “Sumbernya”, sehingga angan-angan berkemampuan: cipta, nalar dan pengerti.
Di dalam meneruskan getaran “Sumbernya” kepada kesadaran alami dan jasmani, angan-angan yang bersifat non materi-bekerja sama dengan anasir-anasir alamiah dan jasmaniah yang bersifat meta materi dan materi sehingga getaran-getaran itu dapat disampaikan dan diterima secara phisik yang tidak berdimensi.
Hal-hal tersebut digambarkan oleh putra-putra Pandu Dewanata. Pandu Dewanata yang kita ketahui bahwa mempunyai ciri “tengeng” (tidak dapat menoleh). Atau hanya memandang lurus. Atau menghadap kesatu arah. Atau benar. Kebenaran ini menjadi ciri ilmu pengetahuan hanya dapat dimengerti dipancarkan oleh cipta, nalar, dan pengerti yang disebut angan-angan.
Pandhu Dewanata bersiterikan dewi Kunthi Nalibrata berputra 3: Yudisthira, Bhima dan harjuna.
Pandhu Dewanata beristrikan dewi Madrim memperoleh 2 putra kembar: Nakula dan Sadewa.
Dengan demikian Pandawa atau Pandhu Putra berjumlah 5 dan disebut Pandhawa Lima.
Dewi Kunthi Nalibrata melukiskan tingkat kesadaran yagn dicapai dengan jalan bertapa. (Nalibrata= dicapai dengan bertapa). Ialah tingkat kesadaran jiwa yang terbebas dari pengaruh desakan kedagingan atau sekurang-kurangnya tingkat kesadaran jiwa yang telah dapat mengendalikan desakan nafsu kejasmanian.
Dewi Madrim melukiskan tingkat kesadaran yang bekerja sama dengan Materi (Madrim= tanah= bumi).
Dengan demikian angan-angan (cipta, nalar, pengerti) di dalam jiwa manusia menyatakan diri di dalam 3 tingaktan kesadaran yagn selalu berorientasi ke dalam sumbernya dan 2 tingkat kesadaran yang berorientasi dengan anasir jasmani.
Putra-putra Pandhu dengan dewi Kunthi, menyatakan kesadaran “dalam”, sedang putra-putra Pandhu dengan dewi madrim menyatakan kesadaran “luar”.
Tingkat kesadaran “dalam” berada atau tersadar di dalam 3 tingkat alam kesadaran.
  1. Tingkat kesadaran Luhur berada atau bertitik sadar dialam sejati. Terlepa dari pengaruh-pengaruh jasmani. Bersifat abadi. Ditokohkan oleh Yudisthira.
  2. Tingkat kesadaran pikir atau nalar dan pengerti sejati, bertitik sadar di dalam alam Budi, ditokohkan oleh Bhima.
  3. Tingkat kesadaran cipta bertitik sadar dalam alam cipta ditokohkan oleh Harjuna. Tingkat kesadaran “luar” disadaari oleh dua bentuk kesadaran:
  4. Bentuk Panca Indera jasmaniah berada dalam badan , ditokohkan oleh Nakula.
  5. Bentuk panca intera halus berada dalam badan jasmani halus, ditokohkan oleh Sadewa.
YUDISTHIRA
Berasal dari: Yudhi berarti ahli perang atau pahlawan perang. Isthira berarti kemantapan kemauan batiniyah yang emngarah ke dalam. Ke dalam sumbernya. Sehingga Yudisthira berarti pahlawan perang di dalam berqiblat kepada Yang Maha Esa. Karena itu tidak ada kesempatan anasir lain yang bertingkatan rendah dapat mempengaruhinya. Karena selalu ingat kepadaNya. Oleh karena itu dikatakan bahwa Yudisthira berdarah putih atau suci.
Disebut juga Dharma Kusuma, berati bunga yang amat bagus. (Dharma=bagus, terang, adil). Disebut juga Dharma Raja atau Ratu adil. Karena adil adalah sifat yang terpancar dari ke Maha adilan. Oleh karena itu selain dekat dan didekati oleh ke Maha adilan maka Dharma Raja akan memancarkan sinar keadilan itu. Disebut juga Dharma Wangsa, yang berarti bangsa yang bagus atau sesuatu dan segala sesuatu yang bagus. Disebut juga Dharma Putra. Berarti selalu mengadakan hubungan ke dalam dengan “asal hari keadilan” atau “sifat Maha Adil”.
Disebut juga Punta Dewa. (Punta=anak panah). Punta Dewa berarti anak panah dari dewa. Oleh karena titik sadar selalu berada dalam alam sejati, dengan demikian selalu ingat kepadaNya, selalu terang, sehingga tak ada kesempatan dari satu titik gelap dapat menguasainya. Di dalam titik sadar tepat di mana kemaha kuasaan dan kemaha bijaksanaan menyinggung kesadarannya. Oleh karena itu memancarlah kebijaksanaan dari ke Maha bijaksanaan. Keadilan dari ke Maha adilan kekuasaan dari ke Maha kuasaan. Hal ini dilukiskan dengan perkataan: Punta Dewa atau anak panah dari Dewa. Anak panah yang langsung terlepas dari Dewa.
Disebut juga Dwijo Kongko berarti Raja dari sekalian pendeta. Atau maha pendeta atau maha guru. Berarti pendeta yang paling mumpuni.
Yudisthira adalah raja Amarta. Amarta berasal dari Amretha berarti air kekal, tidak dapat musnah atau abadi.alam yang abadi adalah alam sejati. Kesadaran hidup yang selalu tepat berada pada titik sadar yang disinggung oleh Yang Maha Esa, tidak tergantung lagi oleh keterbatasan yang disebut jasmani, yang bersifat fana. Titik sadar ini telah meraih kebakaan dan berada dalam alam sejati yang abadi.
Keadaan ini baru disadari oelh kesadaran manusia dengan alat angan-angan yagn berada di dalam kancah kejarmanian yang disebut otak. Di dalam wayang disebutkan bahwa sebelum Yusisthira lahir, lahirlah dulu Bhima dalam keadaan Terbungkus (terdapat dalam kisah “Bima Bungkus”). Kemudian barulah lahir Yudisthira. Jelas melukiskan bahwa adanya “Manusia sejati”, yang bersifat abadi barulah disadari adanya setelah manusia jasmaniah memeahkan bungkusnya yang pertama yangberupa angan-angan dan mengarahkan kemampuannya yang berupa cipta nalar dan pangerti yagn bekerja di dalam otak untuk menghayati adanya manusia sejati (disebutkan lebih jauh di dalam penelasan tentang Bima).
Jadi Yudisthira melukiskan tingkat kesadaran luhur yang titik sadarnya dalam alam sejati yang menyinggung tepat pada titik kesadaran itu.
Disebutkan bahwa Yudisthira mempunyai senjat berupa Kitab Sakti: “Kalimasada Pustaka Jamus”. Kalima= lima pada keseluruhannya: usada= penyembuhan, usaha yang baik menuju kesehatan; Pustaka Jamus= Kitab Suci). Sehingga keseluruhannya akan berarti: lima jalan yang baik atau lima jalan rahayu atau lima jalan menuju kebahagiaan.
Dari sudut yagn lain dapat diartikan juga bahwa “kali” adalah sifat Sakti dari kemaha Kuasaan Tuhan YME. Maha berarti paling. Usada pergeseran dari hoshada yang berarti buah suci. Sehingga kali Masada berarti buah suci anugerah dari kemaha kuasaan Tuhan YME. Tuhan YME telah menganugerahkan kitab-kitab yang mengandung ajaran suci kepada umat manusia.
Bila kita peras inti sari petunjuk Yang Maha Esa, yang dibawakan oleh para Nabi yang tersirat di dalam kitab suci tersimpullah lima jalan menuju kebahagiaan.
1. Menjiwakan makna dari ke Maha Esaan.
2. Bersembahyang
3. Mengendalikan hawa nafsu
4. Budi Dharma
5. Berbudi luhur
apabila lima jalan kebahagiaan ini ditempuh secara keseluruhan dicapailah kebahagiaan yagn bersifat abadi.
Kalimasada Pustaka Jamus selain menjadi milik pribadi dari Juddisthira juga menjadi tuntunan seluruh keluarga Pandawa, Oleh karenanya Pandawa berhasil mencapai cita-cita yang diidamkan ilah: Kebahagiaan, kelak di dalam Perang Agung Barat Yudha ke angkara murkaan yang merajalela dari Sata Korawa dapat dipunahkan dengan mempergunakan Kalimasada sebagai senjata pamungkas.
Apabila manusia telah menjiwakan makna dari ke Maha Esaan sehingga sifat-sifat dari sumber kebaikan itu dekat sekali padanya, bahkan tepat menyinggung kesadarannya, maka tidak ada jarak lagi yagn dapat ditempati oleh kebalikan dari sifat maha baik itu, yang memakan dirinya kejelekan yang bersumber dari kegelapan untuk menghambat terpancarnya kebahagiaan yang pasti segera dapat diresapi. Kesusahan, penderitaan, kekhawatiran, ketakutan, ketidak harmonisan kejahatan, tidak mampu lagi tegak mempertahankan dirinya. Tidak mungkin menyatakan dirinya seperti gelap yang lenyap ditelah oelh terang yang hadir memenuhi ruang yang gelap itu.
Untuk mempertahankan kebahagiaan agar tidak bergeser dari kesadarannya, titik sadar harus diikatkan kepada sumber kebahagiaan itu. Diikat dengan ketat pada sumber itu. Bersembahyang atau menembah adalah pengikatan itu. Apabila dengan menembah, benar-benar dapat mengikatkan dengan kesadaran sadarnya terhadap ke Maha Esaan, maka kebahagiaan selalu dimilikinya.
Setalah ke Maha Esaan dapat dijiwakan karena selau sadar akan adanya di dalam panembah, segala perbuatannya akan mencerminkan asmanya. Gejala yang bersumber dari hal itu adalah Budi Dharma, berbentuk pemberian dari Budi yang suci. Berupa apapun juga kepada siapapun juga. Materiil maupun spirituail. Tergantung dari kebutuhan yang akan diberinya dan menurut kemampuan pemberinya.
Untuk menjaga agar supaya tidak terjadi penyelundupan motif yagn datangnya dari nafsu yang negatif terhadap hal-hal tersebut di atas, haruslah nafsu-nafsu itu dikendalikan. Mengendalikan hawa nafsu berarti mengarahkan dorongan nafsu itu dan mengenalikannya menurut ukuran yang di Butuhkannya.
apabila hawa nafsu telah tunduk dan menjadi taat seperti kuda yagn telah dapat dikendalikan. Kemudian kuda-kuda seperti itu dipakai untuk menarik kereta yang dinaiki oleh seorang Pangeran yang membawakan missi Budi Dharma langsung dari kehendak yagn Maha Esa. Kelangsungan itu diikat didalam kesadaran di dalam manembah dan kesadaran akan ke Maha Esaan itu telah terpateri di dalam jiwa. Maka Sang Pangeran akan selamat di dalam menjalankan tugasnya dan sampai kepada tujuan. Sang Pangeran telah mencapai Budi Luhur.
Kelima jalan utama itu atau kalimasada itulah yang menjamin kemenangan Pandawa di dalam perang Agung Barata Yudha.

BHIMA
Bhima adalah putra kedua dari Pandhu yang lahir dalam keadaan bungkus, tetapi Bhima Bungkus lahir lebih dahulu dari Pandhu. Hal ini mengkiaskan bahwa hidup yang sejati yang abadi barulah disadari adanya setelah bungkusnya yang berupa angan-angan mengerahkan segala kemampuannya untuk membuktikan, menyatakan, mengerti dan menyaari adanya. Bhima berarti besar. Bungkus dari hidup pada lapis yagn pertama yang dikenal sebagai jiwa, yagn berkemampuan cipta nalar dan pengerti, dapat memuat pengertian yang besar bahkan seluruh. Makro Kosmos termuat didalamnya. Oleh karena itu Bhima digambarkan dengan tubuh yang besar.
Disebut juga Werkudara. Werku berarti anjing hutan. Udara berarti perut. Werkudara membawakan sifat perut anjing hutan. amat lahap memakan mangsanya. Oleh karena Werkudara adalah nama lain dari Bhima lambang dari adanya angan-angan atau pikir, tentulah sifat lahap ini dimaksudkan lahap di dalam memakan pengertian.
Bahwa Bhima adalah lambang adanya angan-angan yang berkemampuan: Cipta nalar dan pengerti yang tidak terbatas oleh keterbatasan materi, dapat dilihat dari sifat-sifat dan kemampuan putra-putra dari Bhima. Gatotkaca, dapat terbang di angkasa, Antareja, berkemampuan menerobos bumi, Antasena berjalan di dlam air. Hal tersebut melukiskan bahwa angan-angan dapat bergerak menerobos bumi, air dan angkasa.
Bhima mempunyai senjata gada yang disebut gada Rujak Polo. Polo berarti otak, hal ini menjelaskan kepada kita bahwa angan-angan mempergunakan alat jasmai dan di sebut otak. Atau sebaliknya Bhima melukiskan sesuatu yang mempergunakan alat jasmani yang disebut otak.
Bhima mempunyai ciri khas tidak berbasa-basi lagi pula tidak pernah berjongkok. Itulah sifat dari nalar dan pengerti. Lurus, logis, tidak dapat diperdayakan.
Bhima mengenakan Kampun (sejenis pakaian Poleng Bang Bintula. Kampuh poleng mempunyai empat macam warna: Merah, kunging, putih, dan hitam. Warna-warna ini adalah lambang dari nafsu. Nafsu merah dari desakan kedagingan yang berasal dari anasir api. Nafsu hitam yang berasal dari anasir tanah. Nafsu kuning yang berasal dari anasir swasana (udara). Nafsu putih yagn berasal dari anasir air. Empat anasir tersebut merupakan pembentuk jasmani. Masing-masing anasir membawa sifat asalnya, selalu menyerta dirinya. Dorongan sifat-sifat asal ini mengalir seperti air yang mengalir dari gunung, diwaktu banjir dapat mengakibatkan malapetaka. Itulah sebabnya harus diawasi, diatur, dikendalikan. Cipta, nalar dan pengerti harus selalu mengikuti gerak geriknya. Menyalurkan kepada arah yang benar. Dalam hal ini Bhima dapat mengendalikan ke empat jenis nafsu tersebut, dan mempergunakannya secara benar. Dengan demikian tepatlah lukisan Bhima itu. Bhima mengenakan kampuh dengan empat macam warna. Karena Ehima telah menaklukkan, menguasai dan dapat mengendalikan nafsu-nafsu tersebut.
Di dalam kisah “Dewa Ruci”, diceritakan bagaimana Bhima dapat menghadap Dewa Ruci atau Sang Guru sejati. Bagaimana Bhima melepaskan diri dari rintangan-rintangan yang berupa nafsu dan pernyataannya yang melilit dirinya seprti seekor naga yang besar. Dengan kuku Panca Kenaka ular yang melilit tubuhnya dapat dikalahkan. Hal itu melukiskan bahwa angan-angan kadang dibelit oleh bisikan nafsu kedagingan. Belitan ini dapat dibebaskan dengan lima sifat utama dari jiwa yang merupakan senjata dari jiwa untuk melindungi dirinya dari bisikan nafsu.
Setelah nafsu itu berhasil dihilangkan muncullah Dewa Ruci, masuklah Bhima ke dalam telinga Dewa Ruci, atas izinNya. Ternyata di dalam ruangan yang sesempit itu, dirinya termuat didalamnya dan segalanya termuat pula tanpa pernah menjadi penuh. Keterbatasan tak mungkin memenuhi ketidak terbatasan, sebaliknya ketidak terbatasan, selalu menyelimuti dan menggenangi keterbataan.
Gerakan keluar dari cipta nalar dan pengerti telah di arahkan masuk ke dalam dan kesadaran itu menguncup menjadi satu titik sadar yagn disebut Budi. Dengan demikian Bhima melukiskan tingkat kesadaran pikir atau nalar dan pengerti sejati yang titik sadarnya ada dialam budi.
Bhima dengan kuku Panca kenaka dapat mengalahkan ular Naga yang melilit tubuhnya. Kuku merupakan pengaman diri (senjat) yang dimiliki olerh manusia secara kodrati. Timbul bersama-sama kelahiran jasmaninya. Oleh karena Panca Kenaka milik Bhima, sedang Bhima menggambarkan jiwa manusia maka Panca Kenaka melambangkan senjat dari jiwa. Ialah kemampuan dari jiwa yang menimbulkan perasaan positif dan negatif sebagai akibat dari terlaksana atau tidaknya dorongan kodrati kejasmanian. Dorongan kedagingan ini menuntut pemenuhan kebutuhannya dan mempengaruhi alat-alat pelaksana termasuk angan-angan atau jiwa untuk mempergunakan kemampuannya mewujudkan tuntutan itu. Dengan demikian gerak dari cipta, nalar dan pengerti tidak tertuju khusus untuk melaksanakan gataran hidup dari hidupnya yang sejati Sebagian kemampuannya membelok untuk mewujudkan tuntutan dorongan nafsu-nafsu itu. Seperti lilitan Naga pada tubuh Bhima pada waktu mencari air suci Perwita Sari.
Apabila manusia dapat mempergunakan Panca Kenaka itu pastilah dia dapat bebas dari pengaruh negarif dari lilitan nafsu pada tubuh jiwanya.
Apabila kita memperhatikan tali yagn ditarik, timbullah tegangan pada tali itu. Tegangan itu arahnya berlawanan dengan arah gaya tarikan. Tegangan timbul sebagai reaksi atas Aksi yang emnimpa padanya yang berupa tarikan itu.
Apabila nafsu mengadkan tarikan terhadap jiwa untuk mewujudkan kehendaknya maka secara otomatis timbullah tolakan reaksi terhadapnya.
Reaksi itu merupakan sifat dan sikap jiwa keluar untuk mengimbangi desakan nafsu itu ke dalam.
Nafsu merah, terjadi dari sari halusnya nasir api, semangat, dorongan. Perwujudannya adalah: marah, tergesa-gesa berkuasa, menghamburkan tenaga. Apabila nafsu ini melilit jiwa timbulah reaksi dari jiwa untuk mengimbangi dan menyeringnya. Sifat dari sikap ini disebut: Sabar. Sikap dan sikap sabar ini dapat dilatih dengan menyadari dan mengawasi datangnya nafsu merah dan dengan kesadaran itu pula mengadakan tolakan yang bersifat selektif tahap demi tahap. Beberapa methode dipakai untuk melatih watak sabar ini diantaranya seperti berikut: setiap kali tersadar akan datangnya nafsu merah dan segera setelah itu kita hendak menyetujui dorongan nafsu itu untuk dilaksanakan, secara tegas kita menahan tindakan itu. Kemudian kita menghitung angka satu sampai dengan angka sepuluh dengan menarik nafas yang longgar dan panjang selama hitungan itu terasalah adanya pengendapan tenaga. Dorongan nafsu akan sirna. Setelah sepuluh hitungan kita dapat bertindak lebih cepat.
Nafsu hitam terjadi dari sari halusnya anasir bumi, bersifat: lekat, melekat. Perwujudannya adalah: malas, makan minum, Sexuil , congkak, tamak, tinggi hati. Nafsu ini dapatmelilit jiwa seperti : keinginan untuk minum minuman keras, kegemaran makan berlebih-lebihan dan enak, keukaan bermalasmalasan, kesenengan dipuji dan dihormati, kenikmatan berhubungan sexuil, semuanya dapat mengaktifkan melekatkannya kebiasaan-kebiasaan seolah-olah sesuatu yang tidak dapat ditinggalkan.
Sebagai reaksinya timbullah sikap jiwa yang disebut: Rela. Artinya tidak melekat dan tidak terikat. Watak rela ini dapat diperkembangkan dan dilatih dengan sadar. Salah satu cara adalah dengan menahan kesenangan-kesenagan yang biasa dilakukan. Umumnya disebut puasa.
Nafsu yang berwarna putih. Berasal dari sari halusnya anasir air, bersifat positif, menuju kemeimangan yang sesuai dengan menyadari kemampunan pribadi, harmonis. Nafsu ini perlu dipelihara karena jalannya searah dengan getaran asal. Air mencari tempat yagn sesuai dengan tenaga yagn dikandungnya. Oleh karena itu sifat dan sikap jiwa ini disebut: Narima, artinya sesuai dengan apa yang dimiliki. Nafsu ini perlu dijaga jagnan sampai bekerja sama dengan nafsu hitam, sehingga akibatnya adalah: rasa rendah diri, pemalu dan sebagainya.
Nafsu yang berwarna kuning: Berasal dari sari halus anasir swasana (udara). Bersifat positif searah dengan getaran asal, oleh karena itu perlu dikembangkan. Nafsu ini seperti sifat swasana ialah meliputi semuanya, sehingga semuanya terikat dalam satu perasaan yagn tunggal. Oleh karena itu perwujudan dari nafsu kuning ini adalah sikap sosial, kasih sayang, menolong, dapat merasakan kebahagiaan/kesusahan orang lain. Nafsu kuning ini searah dengan getaran “ke asalan” yang bersifat: satu, kasih, adil, benar. Nafsu kuning searah dengan hal itu, melangsungkan getaran itu, dengan demikian sikap jiwa terhadapnya dalah “jujur”, berarti menyetujui, menjalankan, membukakan tuntutan-tuntutan itu tanpa manipulasi dan korupsi. Keempat sikap jiwa itu: rela, sabar, narima dan jujur dapat bekerja sama secara harmonis menimbulkan Budi Luhur. Kelima watak yang baik dari jiwa yang mengarah keluar inilah yang mampu membebaskan manusia dari lilitan nafsu yang membelit jiwanya.

HARJUNA
Angan-angan mempunyai kemampuan, cipta, nalar dan pengerti, diragakan oleh putra-putra Pandhu dari Dewi Kunthi. Apabila cipta, nalar, dan pengerti terbebas sama sekali dari pengaruh duniawi, tak tergoyahkan di dalam kesadaran kesejatian, dan bertitik sadar di alam sejati, keadaan itu dilukiskan oleh Yudisthira. Apabila angan-angan bertumpu pada pkir atau nalar dan pengerti sejati, maka titik sadar akan didalam budi, ditokohkan oleh Bhima. Apabila cipta menjadi titik pusat kemampuan angan-angan dan kesejatian dari cipta ini disadari, maka titik sadar akan berada pada alam cipta. Hal ini digambarkan oleh Harjuna.
Harjuna berasal dari Herjuna. Her berarti air. Jun adalah nama dari tempat air. Maka Herjuna mempunyai maksud air yang berada pada tempatnya. Air didalam bahasa rohani berargi hidup. degnan demikian Herjuna berarti hidup (dengan huruf H besar) yang ada di dalam tempat hidup (dengan huruf b kecil) berarti maha ada, (dengan huruf A besar) yang merefleksi di dalam ada (dengan huruf a kecil), berarti hidup (dengan huruf h kecil) yang tersinggung oleh Hidup (dengan huruf H besar). Harjuna merupakan titik pusat atau titik tengah dari hidup. Hal ini dilukiskan secara tepat di dalam urut-urutan kelima saudara Pandawa. Harjuna jatuh pada urut ketiga atau panengah dari Pandawa Lima. Oleh karena itu disebut PAMADE (= yagn ditengah).
Harjuna bergelar juga: Begawan Cipta Ning berati cipta yang jernih. Cipta yang terpisah dari endapan dan kotoran kebendaan. Di dalam bagian cerita “Begawan Cipta Ning” setelah mengalahkan raksasa Niwata Kawaca, harjuna mendapat anugerah seorang bidadari yang cantik bernama Dewi Supraba. Supraba berarti cahaya yang gemilang. Demikian gemilangnya sehingga dilukiskan sebagai bidadari. Manusia yang dapat membersihkan ciptanya dari lapiran-lapisan kotoran duniawi sehingga ciptanya dari lapisan-lapisan kotoran duniawi sehingga ciptanya langsung memancar ke luar dari kesejatian cipta, akan memancarkan swasana di sekelilingnya menjadi terang. Bahkan cahaya yagn terbersit dari cipta yang bersih itu dapat ditangkap oleh panca indera jasmaniah.
Sinar dari cipta amat baik dan lembut. Mengandung daya kasih yang memelihara, daya kekuasaan yang melindungi sehingga dapat menggetarkan setiap hati manusia. Oleh karena itu diceritakan bahwa Harjuna lebih cakap dari yang cakap. Harjuna dicinta oleh setiap wanita. harjuna disebut “Lananging Jagad”.
Cipta berkemampuan mengadakan atau melahirkan. Di dalam bentuk mental, cipta akan melahirkan ide. Di dalam bentuk kejasmanian cipta mengadakan kelahiran atau keturunan. Oleh karena itu Harjuna disebut juga: Janaka. jana berarti bibit atau titik hidup. Ka kependekan dari Loka berarti tempat. Sehingga Janaka berarti tempat titik hidup, tempat tunas hidup.
Cipta yagn benar dan baik melahirkan ide yang benar dan baik, ide yang benar dan baik inilah yang berhak emmpergunakan alat-alat pelaksana manusia. Hal ini dilukiskan oleh PARIKESIT. Parikesit adalah turun pancar dari Harjuna. Parikesitlah yang mewarisi Astina Pura setelah Pandawa unggul di dalam perang Agung Barata Yudha. Berarti setelah kegelapan lenyap dari kesadaran terpancarlah cipta sejati. Lahirlah ide yang baik seperti sumbernya. Ide ini siap untuk diwujudkan dengan mempergunakan segala peralatan yagn ada di dalam diri manusia. Ide ini dinobatkan menjadi raja. Di dalam wayangdilukiskan sebagai berikut: Harjuna mempunyai putra: Ongka Wijaya, Ongkawijaya bherarti cita-cita yang terpilih. (Ongka berarti cita-cita, Wi berarti lebih, Jaya berarti unggul). Atau ide yagn baik. Ongka Wijaya berputra Pari Kesit, dan Parikesitlah yang dinobatkan menjadi raja di Astinapura. Ide yagn baik dilahirkan menjadi ide yang konkrit dan segala perlengkapan mengabdi kepaanya untuk mewujudkan dan melaksanakan kehendaknya.
NAKULA dan SADEWA
Kedua ksatria ini adalah putera kembar dari Pandhu Dwwanata dengan Madrim. Madrim dapat diartikan: tanah (bandingkan dengan Mutter= ibu; Mother= ibu; Mother land= tanah tumpah darah). Dengan demikian Nakula dan Sadewa merupakan bentuk kerja sama antara cipta nalar dan pangerti yang dalam kesatuannya disebut angan-angan dengan unsur-unsur kebendaan. Bentuk kerja sama itu terdapat didalam Panca Indera. Di dalam kesadaran kebendaan, panca indera berbentuk materiil: sepasang mata untuk melihat, sepasang telinga untuk mendengar, sepasang lubang hidung untuk membau, lidah untuk merasakan, kulit untuk perabaan. Di samping itu di dalam kesadaran rohaniah. Panca indera berbentuk rohaniah pula: Kemampuan melihat, kemampuan mendengar, kemampuan membau, kemampuan merasakan, dan kemampuan perabaan, dengan panca indera batin. Panca Indera lahi dan batin ini bagaikan saudara kembar. Itulah makna bahwa Nakula dan Sadewa adalah kembar.
Dengan panca indera jasmaniah, manusia menyadari sesuatu: ada dan nyata. Ada materiil. Ada dan wujud. Kemampuan ini dinyatakan dengan nama Nakula, Na berarti ada. Kula berarti titah, mahluk, ciptaan. Sehingga Nakula berarti adanya mahluk, ciptaan wujudiah, mawujud.
Dengan panca indera rohaniah, manusia menyadari sesuatu; ada di dalam essensinya, di dalam halnya, di dalam isi hakekatnya. Kemampuan menyadari adanya sesuatu yang ada dan nyata, maupun yang tidak nyata tapi ada, tidak memerlukan keterbatasan yang disebut rupa, kemampuan ini disebut kemampuan dewa. Kemampuan ini dilukiskan dengan kata: Sadewa, berarti seperti dewa atau setingkat dewa.
Kelima indera itu di dalam pembeberannya diwakili oleh indera mata. Mata terdiri dari dua bola mata yang berbentuk lensa. Bentuk lensa ini mirip dengan bentuk biji sawo. Kedua bola mata yang berbentuk biji sawo terletak pada ketinggian yang sejajar. Tanda ini sinandi di dalam istilah Sawo Jajar, Nakula dan Sadewa bertempat tinggal di Kesatrian Sawo Jajar.
Dengan demikian Nakula adalah titik kesadaran bahwa individualitas itu ada dan nyata, dengan alat indera jasmani. Sedangkan Sadewa adalah titik kesadaran bahwa individualitas itu ada, di dalam hakekat adanya, dengan alat indera batin.
Adapun kelima indera itu adalah:
  1. Pendengar: alatnya adalah telinga, indera ini bersifat selektif. Getaran yang terlalu lemah dan juga yang terlalu keras tidak dapat merangsang syaraf pendengar. apabila getaran bunyi merangsang indera pendengar sentuhan itu diteruskan ke otak. Otak memasknya untuk dimengerti. Pengertian ini terabsorb atau merembes ke dalam jiwa. Bersama-sama dengan gelombang metafisik. Gelombang ini hanya dapat ditangkap oleh indera sejati yang rohaniah disebut indera batin dan langsung diterima oleh jiwa. Manusia dapat melatih indera batin ini, sehingga dapat mendengar dalam arti yang sebenarnya tidak terbatas oleh jarak dan waktu.
  2. Penglihat: Alatnya adalah mata. Mata mendapat rangsangan dari gelombang-gelombang warna yang mempunyai panjang gelombang amat kecil. Mata juga bersifat selektif, hanya warna-warna tertentu dapat dilihat dengan mata. Di samping gelombang warna yang amat halus itu memancar pula gelombang metafisik yang non materi: gelombang ini hanya dapat ditangkap oleh indera penglihat batin atau mata batin, langsung dalam hakekat pengertiannya terbebas dari jarak dan waktu.
  3. Peraba: alat penginderaan perabaan adalah kulit. Kulit mempunyai simpul-simpul syarat yang dapat menerima rangsangan: kasar, halus, panas, dingin, lunak, keras. Di samping itu dimiliki pula perabaan batin yang terlebar dari jarak dan waktu.
  4. Pengecap: alat pengecap adalah lidah. Lidah dapat menerima rangsangan khusus berupa rasa: manis, asam, asin dan pahit beserta kombinasinya. Indera pengecap batin terdapat pula mendampingi indera pengecap ini.
  5. Pembau: alat pembau adalah hidung. Rongga hidung mempunyai syarat-syaraf yang peka terhadap rangsang gas-gas dengan struktur kimia tertentu indera ini didampingi pula dengan indera batin.
Indera jasmani dan indera batin bekerja sama secara harmonis. Di dalam kesadaran yang bertitik sadar id alam jasmani, Indera jasmani akan lebih muncul kedepan. Sebaliknya di dalam kesadaran rohani, secara bertingkat sesuai dengan tingkatan kesadaran rohaninya bertingkat pula pemakaian indera batin.
Kelima panca indera jasmani terbuka sebagai lima pintu gerbang penyerapan dari Makro Kosmos ke dalam Mikro Kosmos. Penyerapan-penyerapan ini di dalam tingkatan kesadaran monodualis yang memberat kepada jasmani, terkontrol secara pasoif oleh indera batin. Pada peningkatan taraf kerohanian yang dicapai dengan pengalusan budi menuju sifat keluhuran, meningkat pula fungsi indera batin ini.
Dengan memperhatikan hubungan dari keluarga Barata kita dapat melihat anatomi jiwa manusia. Manusia ciptaan Tuhan YME ide yang sempurna bersifat rohaniah (Abiyasa). manusia mengabdi pada penciptanya, oleh karena itu hanyalah ada satu kemungkinan baginya ialah membabarkan karsanya, lambat atau cepat. Untuk membabarkan karsa yang terkandung di dalam keabadian yang tak meungkin teraih oleh sifat kebendaan di alam ini, roh manusia diperlengkapi dengan alat-alat yang sesuai dengan situasi alam yang menjadi tempat tersadarnya pembabaran yang berupa pencerminan itu. Manusia dilengkapi dengan jiwa dan raga. Jiwa terdiri dari tiga lapisan.
Lapisan yang terhalus disebut angan-angan (Pandhu Dewanata). Lapisan yagn terkasar yang merupakan sari halusnya anasir pembentuk badan disebut nafsu (Dresta Rastra). Interaksi antara nafsu dan angan-angan menimbulkanperasaan positif, netral, atau negatif, sebagai iklim dari jiwa (Yama Widura). Angan-angan berkemampuan Cipta, nalar, dan pengerti, (Harjuna, Bhima, Yudhisthira). Cipta, nalar dan pangerti dapat menerobos tempat dan waktu (Gatotkaca, Antareja, Antasena). Sedang nafsu berdiferensiasi menjadi amat banyaknya (Kurawa). Angan-angan dan keseluruhan dari jiwa mengadakan hubungan dengan kosmos melewati pintu gerbang panca indera yang kembar (Nakula, Sadewa).
manusia dengan peralatan tersebut dapat memerintah jasmani (Astinapura), untuk membabarkan atau menobatkan ide sejati pada tkhta, untuk memegang kekuasaan pemerintahan, Parikesit). Proses ini terjadi di dalam kesadaran jasmani (Astinapura; Ksetra) dan disebut Perang Barata Yudha.

PANAKAWAN
Ketidak selarasan di dalam bekerjanya alat-alat dari hidup mengakibtkan desintegrasi jiwa, sehingga fungsi pencerminan akan terganggu. Titik sadar akan bergeser dari tempatnya sehingga wujud bayangan hasil pencerminan tidak sesuai dengan wujud asalnya. Sehingga terasa adanya ketidak bahagiaan. Begitu juga di dalam wayang Purwa. Apabila terjadi kesukaran menimpa Pandawa akan gegerlah negara Amarta. Kesukaran itu berulah dapat diatasi setelah keutuhan Pandawa dicapai kembali.
Untuk mewujudkan keadilan dinegeri Amarta, Pandawa yang dipimpin oleh Yudhisthira mempunyai pembantu yang bersifat dewa yang disebut panakawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. SEmar mempunyai wujud bulat, wujud bukan laki-laki dan bukanperempuan. Mata selalu memandang ke arah rambut yang merupakan jambil di ubun-ubun. Gareng mempunyai bentuk badan mengharukan: kaki pincang, tangan cacad. Petruk mempunyai ciri khas tinggi lurus. Hidung panjang dan mempunyai sebuah pundi-pundi yang disebut: kanthong bolong. Gareng dan Petruk emmpunyai senjata arit untuk memangkas rumput dan pethel untuk menebang pohon-pohon. Keempat Punakawan mengenakan kain dari empat warna Merah, hitam, kuning dan putih.
Panakawan berarti sahabat. (Pana berarti tahu, Kawan: teman). Teman sehati yang selalu bersama dan tahu di dalam kegembiraan dan kesusahan. Pana Kawan disebut juga: Wulu cumbu. Wulu berarti bulu. Cumbu berarti kerasan, tetap tinggal ditempatnya. Oelh karena itu Wulu cumbu berarti tetap bersama-sama dengan setia dalam keadaan apapun.
Keempat wulu cumbu ini selalu menyertai Pandawa dan disebutkan bahwa mereka mempunyai senjata sederhana pemangkas rumput dan pemotong dahan-dahan kayu. Diceritakan bahwa Gareng mempergunakan senjata Arit dan Petruk mempergunakan senjata Kapak (Pethel). Oleh karena selalu emnyertai Pandawa sebagai cerminan dari jiwa manusia, maka wulu cumbu ini melukiskan kemampuan jiwa yang selalu melekat padanya. Apabila jiwa manusia digambarkan sebagai sebuah teman, maka Pana Kawan ini adalah juru taman yang siap membersihkan rerumputan dan perdu yang tumbuh mengotori taman itu. Oleh karena sumber pengotoran jiwa manusia adalah tuntutan nafsu yang tak terkontrol maka tepatlah kalau dilukiskan bahwa panakawan ini memakai kain dengan empat warna. Berarti dengan bantuan panakawan ini jiwa dapat menguasai nafsu-nafsunya, yaitu nafsu merah, kuning, putih dan hitam. Nafsu-nafsu itu mendesakkan kebutuhannya kepada lapisan yang lebih fungsionil untuk dilaksanakan, seolah-olah kebutuhan nafsu itu menjadi “Kebutuhan ku”. Setiap saat timbul keinginan itu, pada saat itu pula timbul sikap jiwa yang menyaringnya secara selektif. Sehingga kebutuhan itu dapat disaring pula. Di sini sikap jiwa itu akan menghadapi secara frontal gelombang-gelombang nafsu dipanang dari arah: dalam atau jiwa. Dengan demikian sikap jiwa itu bersifat membantu, oelh karena itu disebut panakawan, wulu cumbu atau sahabat yang tahu atau pembantu yang mengerti. apabila sikap ini bersifat menentang atau lawan. Oleh karena itu dilukiskan sebgai senjuat dan disebut Panca Kanaka *). (*) Baca: Bhima.
Senjata kapak ataupun arit melukiskan alat sederhana, yang mudah didaptakan untuk merambas pohon-pohon yang mengotori halaman.
Tersebutlah suatu pohon ajaib, yang mengandung misteri yang disebut pohon Aswata. Pohon ini berakar diangkasa. Pucuk, ranting dan daunnya ada di dunia. Pohon ini merupakan symbul dari nafsu yang berasal dari sari halusnya kosmos dan terkumpul di dalam badan; dunia kecil manusia. Bercabang berdaun dan berbuah di sana. Cabang-cabangnya menutupi jiwa manusia. Daun-daunnya yang rimbun menghalangi pancaran sinar kesucian. Buahnya menjadi biji dan tumbuh sebagai benalu di dalam kesucian. Itulah pohon Aswata atau nafsu. Harus segera dirambas dan dibersihkan, kalau mungkin ditebang sama sekali. Panakawan yang setia itu telah siap dengan senjatanya yang sederhana untuk merambas segala macam perdu yang mengotori taman bunga jiwa. Agar supaya cahaya dari Hidup yang sejati, sempurna memancar menerangi taman jiwa yagn penuh dengan keindahan abadi itu.
Petruk bertubuh panjang, berleher panjang melukiskan sifat jiwa yang elastis, tidak mudah patah. Sifat ini disebut Sabar. Sabar berarti tidak lekas marah. Marah adalah luapan energie dari kandugnan tenaga nafsu merah. Sifat sabar berarti sifat laut yang menampung semua aliran sungai tanpa membuat dirinya penuh. Demikian pula Petruk. Sifat ini dijelaskan oleh nama Kanthong Bolong. Kanthong Bolong berarti pundi-pundi yang berubang. Berapa saja dia diisi, tak akan menjadi penuh. Di samping itu kanthong yang bolong tak akan berisi uang. Berarti tidak memiliki. Perasaan tidak memiliki sesuatu mengakibatkan lepasnya kelekatan terhadap apa-apa yang dimiliki, pernah dimiliki atau yagn akan dimiliki. Sifat bebas dariri kelekatan terhaap sesuatu disebut sifat rela. Sikap rela ini akan menantang nafsu-nafsu hitam yang berasal dari halusnya anasir Bumi.
Gareng dilukiskan dengan cacad-cacad tubuh. Kaki pengkor, tangan bengkok, tubuh kurus ceking. Keadaan jasmaniah tidak mempengaruhi kebaktiannya terhadap Pandawa. Dia bekerja pada tugasnya dengan keadaan yang dia miliki dengan kemampuan maximal yang ada padanya. Itulah sifat yang disebut Narima, yagn berarti sesuai dengan potensi yang dikandungnya. Garenag berarti garing atau kering. Semua yang harus diberikan telah diberikan, tidak ada sisa pada tubuhnya. Telah kering. Inilah sifat jujur yang berarti memancarkan apa yang harus dipancarkan, memberikan apa yang harus diberikan tanpa manipulasi dan motif kepentingan pribadi.
Keempat sifat itu sebagai kesatuannya disebut budi luhur. Oleh karena itu dilukiskan bahwa Gareng dan Petruk mengangkat Semar sebagai bapaknya. Dengan sikap jiwa yang luhur, manusia akan mengarah ke dalam, memandang kepada kesucian. Oleh karena itu Semar dilukiskan selalu emmandang kearah jambul diubun-ubunnya, tempat turunnya sikap ke dalam, selalu ingat kepada: Penciptanya kepada asalnya. Ini dapat dicapai oelh karena nafsu telah taat dan perasaan telah dinetralkan, sehingga percaya dan menghayati arti bahagia.
Bagong dari kependekan: tiba gong. Artinya jatuh pada bunyi gong. Tarian, yang selalu tepat pada bunyi gong adalah tarian yang bagus. Tokoh bagong dimaksudkan sebgai persetujuan bahwa telah genaplah jalinan perumpamaan yang sinandi di dalam bentuk dan fungsi panakawan. Berarti dengan munculnya Bagong, koreksi bersifat menggaris bawahi dan menyetujui.
Lebih jauh lagi ditambahkan bahwa dengan tumbangnya pohon Aswata dan dicapainya budi luhur maka rasa jenis akan pudar, rasa aku akan melebur, rasa diri akan luluh, rasa diri akan menjadi rasa bersama, kesadaran akan adanya tepi menjadi rasa ditengah yang berimpit dengan semuanya. Ketakutan dan kekhawatiran akan hilang menjadi teguh. Keragu-raguan akan berubah menjadi pasti. Kebencian akan berubah menjadi cinta. Karena dia telah menginjak pada taraf kesejatian jiwa.
Oleh karena itu Semar dilukiskan bukan laki-laki juga bukan perempuan. Di dalam kekhusukan sembahyang atau di dalam puncak Semadhi terkilatlah perasaan ini dimana benteng ke Akuan telah disinarkan menginjak ambang rasa Sejati. Itulah batas antara gelap dan terang. Batas antara maya dan nyata, karena Semar masih berfungsi sebgai Panakawan dari Pandawa. Karena Semar masih berdiri pada ambang. Oleh karena itu Semar disebut Semar yang berarti samar, batas antara gelap dan terang. Apabila jenjang itu ditinggalkan dan melangkah pada Rasa Sejati, Semar akan lenyap menjadi Sang Hyang Ismaya.
Samar disebut juga Badranaya, Badra berarti susah, Naya berarti mengawasi. Maka Badra Naya berarti yang mengawasi kesusahan. Atau yang menaklukkan kesusahan. Kesusahan atau penderitaan adalah buah dari pohon Aswata atau nafsu. Kesusahan hanyalah dapat dikalahkan oleh sikap luhur dari jiwa, ialah gabungan dari keempat sikap jiwa yang diperankan oleh putera-putera Semar. Oleh karena itu Badra Naya adalah Semar.
Badra Naya dapat mengalahkan nafsu-nafsu oleh karena itu Badra Naya bertugas mengawasi nafsu. Oleh karena itu Badra Naya menjadi Panakawan dari Pandawa.
(http://tradisidanbudaya.wordpress.com/2009/03/28/keluarga-pandwa/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar