Kamis, 27 Maret 2014

Pemprov Sumsel Siapkan 30 Santri Calon Dokter


Rabu, 26 Maret 2014, 18:16 WIB  
 
Suasana kegiatan santri di salah satu pondok pesantren.
Suasana kegiatan santri di salah satu pondok pesantren.
 
REPUBLIKA.CO.ID, PALEMBANG --- Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) kembali menyelenggarakan progam pendidikan santri jadi dokter atau santri yang berasal dari daerah ini kuliah gratis di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
“Tahun 2014/2015 pemerintah provinsi kembali memberi kuota untuk 30 siswa dari Madrasah Aliyah (MA) dan pondok pesantren (Ponpes) untuk mengikuti pendidikan santri menjadi dokter gratis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah,” kata Widodo Kepala Dinas Pendidikan Sumsel, Rabu (26/3).
Menurut Widodo program pendidikan santri menjadi dokter kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dengan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sudah berjalan enam tahun. “Sudah ada diantara santri tersebut yang menjadi sarjana ilmu kesehatan masyarakat dan beberapa santri lainnya tengah menyelesaikan pendidikan kedokteran,” katanya.
Kepala Dinas Pendidikan Sumsel menjelaskan, tahun ajaran 2014/2015 disiapkan kuota untuk 30 siswa Madrasah Aliyah atau santri untuk memilih program studi kedokteran, farmasi, kesehatan masyarakat dan keperawatan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
“Bagi santri yang ingin mengikutinya silahkan mendaftar langsung atau secara kolektif melalui sekolah ke Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan di Jalan Kapten A Rivai, Palembang. Pendaftaran sejak 17 – 20 April 2014 dan bagi mereka yang lolos administrasi dapat mengikuti test pada 26 April,” ujar Widodo.
Bagi santri yang telah menyelesaikan pendidikannya di UIN Syarif Hidayatullah menurut Widodo, diwajibkan kembali daerah asal kabupaten dan kota tempat mereka berasal.
“Ini sesuai pesan Gubernur Sumsel Alex Noerdin, bagi yang telah selesai studinya harus kembali mengabdi ke Sumsel, mereka dapat mengabdi di pesantren tempat mereka berasal sambil menanti selesainya pembangunan rumah sakit pratama yang akan dibangun di setiap kecamatan,” katanya.
Pada penerimaan tahun lalu, peserta test atau seleksi program pendidikan santri menjadi dokter berjumlah 221 siswa yang berasal dari MA dan pondok pesantren se-Sumsel. Sementara yang mendaftar 242 siswa setelah dilakukan seleksi administrasi terpilih 221 siswa yang mengikuti test.

Guru Indonesia Raih Penghargaan Pembelajaran di Barcelona



Rabu, 26 Maret 2014, 17:47 WIB


Logo Microsoft

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saara Suaib Hanafi, guru SMP Islam Al Azhar 9 Bekasi meraih juara "Learn-a-thon Award" untuk tema pembelajaran aktif abad 21 pada ajang Microsoft Global Forum di Barcelona, Spanyol pada 11-14 Maret lalu.

"Learn-a-thon adalah aktivitas 24 jam di mana para guru dibagi dalam kelompok-kelompok dengan rekan dari berbagai belahan dunia merancang kegiatan pembelajaran yang menampilkan penggunaan teknologi inovatif untuk tiga tema Milennium Development Goals, yakni kemiskinan, keberlanjutan dan kesetaraan gender," kata Direktur Sektor Publik Microsoft Indonesia Kertapradana Subagus kepada pers di Jakarta, Rabu (26/3).

Saara bergabung bersama dengan lima guru lainnya dari Kanada, Slovakia, Perancis, Kenya dan Argentina dalam satu tim menyiapkan presentasi inovasi pembelajaran berbasis informasi teknologi dan komunikasi terkait tema kesetaraan gender.

Microsoft Global Education Forum merupakan ajang kompetisi pembelajaran berbasis teknologi yang setiap tahun diminati puluhan ribu guru dari seluruh dunia yang melakukan aplikasi online dan mengalami peningkatan peserta hingga 25 persen setiap tahunnya, kata Kertapradana.

"Tahun ini ada sekitar 300 guru Indonesia dari 23 ribu guru yang melakukan pendaftaran online untuk mengikuti ajang tersebut dan terseleksi tiga guru Indonesia dari 1.100 guru untuk mengikuti ajang di Barcelona dan satu diantaranya yaitu Saara Suaib menjadi juara," katanya.

Sementara itu, Saara Suaib Hanafi mengatakan menjadi juara dalam ajang bergengsi dunia Learn-a-thon merupakan kebanggaan luar biasa karena peserta dipacu untuk berinovasi menggabungkan antara teknik mengajar dan pemanfaatan perangkat ICT mengusung tema konsep pembelajaran abad 21.

"Tantangan lebih berat ketika kami harus bergabung dalam tim guru yang berasal dari lima negara lainnya, terutama masalah penguasaan bahasa Inggris menjadi kendala karena dalam tim kami ada guru dari Slovakia, Argentina, dan Perancis yang tidak menmguasai bahasa Inggris dengan fasih sementara kami hanya diberikan waktu 24 jam untuk menghasilkan karya tentang teknik pembelajaran inovatif yang harus dipresentasikan di hadapan juri," kata Saara.

Namun, kendala tersebut dapat diatasi karena pada dasarnya guru-guru dalam tim kami memiliki ide-ide inovatif dan kemampuan IT yang baik sehingga persoalan bahasa diatasi melalui software terjemahan bahasa yang disiapkan Microsoft sehingga dalam waktu ketat tim bisa menyajikan karya yang mengantarkan kami menjadi juara," tambahnya.

Saara mengatakan kemenangan yang diraih tidak sekadar berhenti pada hadiah yang diraih tetapi lebih penting adalah kesempatan untuk membuka jaringan dengan guru lain di seluruh dunia, membangun komunitas secara online untuk berbagi pengalaman inovasi pembelajaran yang sangat berharap untuk dibagikan kepada murid-murid dan guru-guru lain di sekolah.

Siswa SD Indonesia Juara Kontes Matematika di Rumania



Senin, 24 Maret 2014, 06:33 WIB


Anak sekolah

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Dua siswa Indonesia meraih medali emas dalam "The 17 th Edition of the Mathematics Contest 'The Clock Tower School" yang berlangsung di Ramnicu Valcea, Romania, 20-24 Maret 2014.

Stanve Avrilium Widjaya dari SD Saint John, Tanggerang Selatan, Banten dan Hendrikus Hansen Witarsa siswa SDS BPK Penabur 6, Jakarta Utara, mempersembahkan medali emas untuk tim Indonesia.

Kepala Bidang Pensosbud dan Pendidikan KBRI Bucharest, Gatot Amrih Djemirin, kepada Antara London, Senin menyebutkan Indonesia diwakili enam siswa di kelas VI dan dua siswa kelas V dalam ?The 17 th Edition of the Mathematics Contest The Clock Tower School? di kota Ramnicu Valcea, Rumania.

Dikatakannya kompetisi edisi ke 17 kontes Mathematics The Clock Tower School ini diikuti peserta dari Indonesia, Bulgaria, Moldova, Rusia, Serbia, Philipina dan Romania selaku tuan rumah.

Amrih Djemirin mengatakan lomba dibagi dalam dua kategori, pertama adalah lomba individual dimana siswa mengerjakan empat soal selama 2,5 jam. Keempat soal tersebut dikerjakan dalam bentuk uraian yang logis dan jelas serta sistematis.

Sedangkan kategori kedua adalah lomba blitz, dalam kategori ini siswa mengerjakan sebanyak delapan soal dan setiap dua soal dikerjakan dalam waktu 15 menit.
Dikatakannya pada kategori ini siswa harus bisa berpikir cepat dan memberi jawaban yang benar disertai penjelasannya.

Pada acara pengumuman dan sekaligus penutupan the 17th math contest Dubes RI di Bucharest, Diar Nurbiantoro dalam sambutan menyampaikan Indonesia sudah mengikuti kompetisi tahunan ini sebanyak empat kali dan pernah absen pada tahun 2013.

Dikatakannya keberhasilan siswa Sekolah Dasar tersebut membuktikan bahwa Indonesia memiliki cikal bakal putra putri terbaik bangsa dalam bidang matematika yang menorehkan nama baik Indonesia dan menjadi salah satu Duta Bangsa di Romania.

Dikatakannya makna keikutsertaan Indonesia dari kompetisi tersebut tidak hanya sebagai ajang kompetisi pengetahuan ilmu matematika bagi siswa tetapi juga sebagai simbol persahabatan dan kebersamaan ?people to people contact? antara Indonesia-Romania termasuk dengan negara lain.

Ditambahkan KBRI berkoordinasi dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI akan mengundang Romania dalam kompetisi International Mathematics and Science Olympiad (IMSO) yang akan dilaksanakan pada bulan Oktober atau November mendatang di Indonesia.

Dari delapan siswa SD tersebut, Indonesia berhasil menyabet dua Medali Emas, dua Perak dan empat Perunggu.

Pemenang pertama yang meraih medali emas diraih Stanve Avrilium Widjaya dari SD Saint John, Tanggerang Selatan, Banten.

Sementara Hendrikus Hansen Witarsa siswa. SDS BPK Penabur 6, Jakarta Utara, juga berhasil meraih medali emas.

Radian Krisno siswaSDK Penabur 11, Jakarta Barat meraih medali perak, sedangkan Tracy Charles , siswa SD Sutono 1 Medan meraih medali perak.

Sementara medali perunggu diraih oleh Muhammad Surya Siddiq , siswa SDI Al Azhar 17 Bintaro, Kota Tangerang, Banten.

Tanisya Putri Wirawan siswa SDN Tulang Ampang, Denpasar, Bali, Ayun Natanael Wibowo, siswa SD K Tritunggal, Semarang, Jawatengah, Muhammad Abdurrahman Basyah dari SDIT Nurul Fikri, Depok, demikian Gatot Amrih Djemirin.

Jumat, 21 Maret 2014

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian Akhir)

Sona Area, Taman Penanggulangan Bencana
Pada Selasa pagi, 29 Oktober 2013, kami berkunjung ke Sona Area, Taman Penanggulangan Bencana. Sebagai negara yang menjadi langganan bencana gempa serta tsunami, pemerintah Jepang, khususnya di Tokyo, terdorong untuk membuat Taman Penanggulangan Bencana. Lokasinya dipilih sangat strategis, karena mudah terjangkau oleh angkutan darat, laut, dan udara, disertai ruang rapat dengan fasilitas elektronik yang lengkap bagi para tenaga pemberi pertolongan, bahkan dilengkapi juga dengan rumah sakit, lapangan luas untuk pembuatan tenda darurat, landasan helikopter, dan lain-lain.
Faktanya, tempat ini bukan hanya digunakan saat terjadi bencana, tetapi menjadi wahana edukasi efektif bagi para pengunjung, terutama anak-anak yang harus diberi pengarahan bagaimana bertahan hidup dalam 72 jam bila terjadi bencana gempa besar. Pengunjung datang berbondong-bondong ke taman ini, yang sepertinya menjelma menjadi lokasi wisata populer baru, wisata penanggulangan bencana. Selain mendapat penjelasan, para pengunjung juga mendapat tantangan menjawab kuis sambil latihan menghadapi situasi gempa.
Ide cemerlangnya untuk memberikan langkah-langkah preventif, edukasi, dan sosialisasi, yang menguatkan daya tahan penduduk Tokyo bila sewaktu-waktu terjadi bencana, sangat patut diapresiasi. Mestinya, kita di Indonesia juga bisa mengambil pelajaran dari sini. Setiap tahun, di wilayah tertentu terjadi bencana banjir, ada juga bencana erupsi gunung merapi, akan sangat bagus kalau diadakan upaya-upaya edukasi dan sosialisasi penanggulangan bencana tersebut, agar korban tidak semakin banyak dan selalu siap menghadapi ancaman bencana alam.
SMA Tsubasa Tokyo
Menjelang sore, kami mengunjungi SMA Tsubasa Tokyo. Mendengar nama Tsubasa, yang tergambar di benar saya adalah kapten kesebelasan Jepang dalam kisah kartun mereka yang melegenda, kisah yang mampu menyihir jutaan anak-anak kecil Jepang bermimpi menjadi pemain sepakbola profesional. Tapi ternyata anggapan saya salah total. Tsubasa artinya sayap. Sekolah ini dinamakan Tsubasa karena pendirinya berharap anak didiknya akan mempunyai sayap untuk terbang mengapai cita-cita mereka.
Sekolah tingkat menengah ini dikenal sebagai SMA yang mengintegrasikan pelajaran umum dengan keahlian. Saat duduk di kelas 1, siswa-siswa mendapatkan pelajaran umum, namun ketika naik ke kelas 2 dan 3, mereka sudah diarahkan kepada keahlian khusus sesuai dengan bakat, minat, dan potensi anak didik. Dengan demikian, mereka sudah bisa mengetahui akan melanjutkan di universitas mana dengan fakultas dan jurusan apa nanti, sebagaimana mereka mempunyai gambaran jelas mengenai bidang pekerjaan apa yang akan mereka tekuni. Sedangkan di Indonesia terdapat SMA dan SMK. Yang pertama berorientasi ke pelajaran umum, anak-anaknya hanya dipersiapan ke perguruan tinggi dengan berbagai pilihan. Sedangkan SMK dikhususkan pada bidang tertentu yang mengarah ke dunia kerja. Namun belum ada sekolah berintegrasi seperti di Jepang ini.
SMP 7 Fukagawa, Etoku, Tokyo
Keesokan harinya, Rabu, 30 Oktober 2013, menjelang akhir muhibah kami ke Jepang, kami sempat berkunjung ke Fukagawa Seventh Junior High School. Selama kunjungan rombongan kami ke sekolah ini, kami mencatat bahwa pendidikan budi pekerti lewat penegakan aturan dan pembiasaan terasa sangat kuat. Anak-anak harus menyiapkan pelajaran sehari sebelum masuk sekolah, mereka harus datang tepat waktu, sudah duduk rapi di bangkunya sebelum guru datang, dan mereka harus memberi hormat kepada guru saat guru masuk kelas dan akan keluar.
Sekolah yang mengambil daun tocinaki sebagai simbol identitasnya ini bercita-cita agar anak didiknya kelak bisa seperti pohon tocinaki yang tumbuh tinggi menaungi lingkungannya. Maka, sekolah merumuskan tujuan pendidikannya: agar siswa bisa berpikir dengan baik, bisa berbaik hati dengan orang lain, sehat jasmani dan rohani, serta gembira dalam hidupnya. Realitanya memang banyak siswanya yang berprestasi, baik di bidang akademis maupun kegiatan ekstrakurikuler.
Kami berkesempatan menyaksikan proses belajar mengajar untuk beberapa materi pelajaran: Sejarah, Bahasa Jepang, dan Matematika. Secara keseluruhan, kami dapat mencatat bahwa guru-gurunya sangat senior dan berpengalaman, cara mengajarnya interaktif dan memicu anak untuk berani berpikir kreatif serta solutif. Gurunya kaya improvisasi dalam metode mengajar seperti menyuruh anak berdiskusi dengan melingkar, memberi tugas, memutarkan video dokumenter, dan lain-lain. Selain manual, papan tulisnya juga dilengkapi dengan digital (LCD). Dengan demikian banyak data dan fakta secara visual bisa ditampilkan untuk memperkaya wawasan anak, di samping lebih menarik perhatian anak didik untuk menyimak pelajaran. Sedangkan sarana pendidikan, sebagaimana sekolah lainnya yang dibiayai pemerintah, cukup lengkap sesuai dengan standar pemerintah.
Daiya Seiki, Perusahaan Industri Otomotif
Menjelang sore, kami berkunjung ke sebuah perusahaan industri otomotif bernama Daiya Seiki di Tokyo. Pabrik ini tidak besar, hanya mempunyai 37 karyawan, yang diproduksi juga hanya sebuah komponen mesin mobil, namun benar-benar dikelola secara profesional, spesifik, detail, teliti, dan akurat. Mereka sangat bangga mampu melakukan hal yang tidak mampu dilakukan banyak orang. Keunggulan pabrik ini terletak pada keakurasian produk yang benar-benar bisa diandalkan, sangat teliti dalam hal-hal yang kecil, yang bahkan tidak bisa dilihat jelas dengan mata kepala, namun bisa terasa dengan diraba oleh tangan yang terlatih. Ketidakakuratan pekerjaan akan berpengaruh pada kelancaran kinerja dan keawetan mesin. Karena itu pabrik mobil Nissan menjadikan pabrik kecil ini sebagai mitra utama dan andalannya untuk memproduksi komponen khusus pada mesin mobil.
Kelebihan lain yang dimiliki perusahaaan ini adalah sistem manajemennya yang sangat humanistis. Para pekerja seperti keluarga besar, ada proses transformasi keahlian dari yang senior ke yang lebih muda. Tidak ada istilah pensiun. Ada pekerja yang sudah berusia 70 tahun dan tetap mampu bekerja dengan disiplin. Mereka membuat klub futsal. Kadang bertasmaya bersama. Dengan demikian, setiap pekerja mempunyai rasa memiliki dan tanggung jawab yang besar pada perusahaannya.
Setelah kunjungan ke objek terakhir kami yang sangat mengesankan di industri otomotif Daiya Seiki, kami meluncur menuju Kantor KBRI pada saat menjelang malam. Malam itu, kami berkemas karena pagi harinya dijadwalkan kembali ke Jakarta.
Kembali ke Jakarta
Kami tiba di Jakarta menjelang sore, Kamis, 31 Oktober 2013, dan langsung menginap di Hotel Pullman Jakarta. Kedatangan kami disambut oleh Bapak Wakil Duta Besar Jepang. Yang turut hadir dalam acara penyambutan kami adalah teman-teman dari PPIM, Dr. Ali Munhanif selaku Direktur Eksekutif PPIM, dan Bapak Prof. Dr. Qomaruddin Hidayat yang masih aktif menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta.
Prof. Qomaruddin Hidayat menyatakan bahwa kegiatan ini dilaksanakan dengan tenang, diam-diam, tanpa hiruk-pikuk, tetapi berhasil, efektif, dan produktif. Memang, Jepang adalah saudara tua kita, artinya kita bisa belajar banyak dari kemajuan Jepang. Sudah tepat kalau kita mau belajar peradaban, pergi ke Jepang, karena dari sisi peradaban, negara-negara Timur Tengah tidak jauh berbeda dengan kita di Indonesia (belum tertib). Jepang adalah bangsa Timur, sama dengan kita, nilai-nilai luhur peninggalan orang tua masih dilestarikan, justru di Indonesia sudah mulai kita lupakan. Banyak hal yang kita ceramahkan, tetapi belum mampu kita laksanakan.
Saat home stay, meskipun sebagian peserta kesulitan berkomunikasi dengan bahasa verbal, nyatanya semua menikmati, karena mereka (penduduk Jepang) berkomunikasi menggunakan bahasa hati, ketulusan, dan kejujuran. Hal itu sangat terasa. Karena itu, acara seperti ini semoga saja bisa diteruskan, sebagai sarana yang mengokohkan persaudaran antara Jepang dengan Indonesia.
Di akhir sambutannya, profesor berharap agar pengalaman singkat yang diperoleh para peserta delegasi bisa membuat perubahan dahsyat dalam kehidupan dan perjuangan, seperti nabi yang hanya ber-isra’ mi’raj dalam satu malam, tetapi pengaruhnya sangat luar biasa.
Bapak Ogawa, penasihat Kedubes Jepang dalam bidang politik juga menyatakan komitmennya bahwa acara ini akan dilanjutkan. Beliau menyambut kami sebagai bagian dari keluarga besar Jepang, bersama para alumni kunjungan ke Jepang lainnya dari program pertama hingga sekarang.
Pengalaman Mengesankan dan Inspiratif
Kunjungan selama 11 hari ke Jepang tidak bisa dikatakan singkat, namun untuk mampu memotret situasi dan kondisi sosial yang kompleks dengan masyarakat Jepang yang dinamis secara detail juga belum memadai. Meski demikian, sudah sangat banyak hal yang bisa saya rekam sebagai oleh-oleh yang bisa diolah dalam berbagai bentuk inovasi kreatif untuk lembaga pendidikan yang saya kelola, termasuk untuk perubahan yang lebih baik dalam mengatur dan mengelola kehidupan pribadi dan keluarga.
Saya semakin mantap dan yakin bahwa suatu bangsa yang besar sangat ditopang oleh hasil pendidikannya yang berkualitas, mapan, sistematis, terukur, terstruktur, dan terkultur. Saya juga semakin mantap bahwa pendidikan yang unggul harus menitikberatkan pada pembangunan karakter kepribadian melalui keteladanan, lingkungan yang kondusif, pembiasaan, serta berbagai macam kegiatan yang positif. Sebagaimana saya semakin yakin pula bahwa aktor utama untuk keberhasilan sebuah pendidikan terletak pada sosok guru. Guru yang kredibel, berdedikasi tinggi, mempunyai standar moralitas unggul, keteladanan nyata, dan berkarakter akan mampu melakukan self development dan self support. Yaitu, guru yang mencintai profesinya sekaligus anak didiknya, serta guru yang mengajar dengan cinta, kasih sayang dan tanggung jawab.
Namun saya juga berkesimpulan bahwa kerja keras lembaga pendidikan untuk mencetak generasi unggul tidak akan berhasil tanpa dukungan orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah, melalui penciptaan lingkungan yang baik, undang-undang yang berpihak, rumah tangga yang harmonis, orang tua yang pendidik, dan pemerintah yang memfasilitasi. Karena bangunan tidak akan berdiri kokoh bila yang satu membangun, sementara yang lain menghancurkan. Meski demikian, bagaimanapun juga sekolah adalah miniatur masyarakat, apa yang kita biasakan di sekolah pada masa pendidikan akan menjadi budaya yang dikembangkan anak didik kita di kemudian hari.
Seperti yang kami terapkan dalam sistem pendidikan di Pondok Modern Darussalam Gontor, bahwa pendidikan lebih penting daripada pengajaran. Artinya, dalam proses pendidikan, kita lebih mengutamakan pembentukan pola pikir yang kreatif, kritis, analisis, dan observatif dari pada menjejali otak anak didik dengan pengetahuan kognitif. Kita lebih mengutamakan pembentukan mental skill daripada job skill, pembentukan karakter daripada pemberian pengetahuan yang padat. Karena itu, pelajaran yang memperkuat metodologi berpikir harus matang, karena akan menjadi acuan kerangka teoritis bagi anak didik dalam mengembangkan intelektualitasnya di kemudian hari. Kemandirian harus menjadi acuan dasar dalam membentuk kepribadian anak didik kita.
Kemajuan bangsa Jepang juga tidak bisa dipisahkan dari pengaruh ajaran agama, terutama nilai-nilai moral yang sudah berhasil terbentuk dalam sikap dan budaya hidup sehari-hari. Budaya tertib, antri, bersih, tepat waktu, disiplin, tidak mengganggu oang lain, etos kerja tinggi, menghormati orang lain, berbakti pada orang tua, menyayangi makhluk lain termasuk binatang, menjaga harga diri, menunaikan tanggung jawab, kejujuran, dan lain-lain. Kalau di Indonesia, hal itu masih menjadi wacana, slogan, syiar, dan baru berada pada tataran normatif. Maka, sudah saatnya diperjuangkan agar bisa aplikatif.
Tidak benar kalau agama dikatakan menjadi faktor penghambat kemajuan, justru manusia sangat membutuhkan agama sebagai pedoman, jalan hidup, dan ketenangan jiwa di tengah belantara kehidupan meterialistis yang serba hedonis dan permisif ini. Saya berpendapat bahwa Islam yang mulai tersebar di Jepang akan bisa menjawab tantangan kebutuhan manusia modern Jepang secara menyeluruh. Namun, memang tantangan internal masih sangat besar, terutama mengubah citra menjadi lebih baik, memahami bahasa dan budaya mereka, karena dakwah yang efektif adalah bila kita mengunakan bahasa mereka sendiri.
Jepang juga maju karena tetap memegang teguh budaya serta pesan-pesan moral luhur dari nenek moyang mereka. Kita boleh merespon dan mengadopsi kemajuan dari dunia luar, tetapi jangan sampai melupakan dari mana asal muasal kita. Kearifan lokal yang bersumber dari budaya dan tradisi juga bisa menjadi modal kemajuan.
Selama 11 hari berkunjung ke Jepang dengan dua hari di Jakarta yang penuh kenangan, sangat impresif dan inspiratif. Saya terus merenungkan, langkah apa berikutnya yang harus saya ambil sebagai follow up kunjungan ini. Sangat banyak yang bisa diterapkan tetapi membutuhkan strategi yang tepat, momentum yang pas dan sosialisasi yang mengena. Bismillah. Semoga ini menjadi starting point bagi saya untuk menuju perubahan yang lebih baik, insya Allah.

(http://www.gontor.ac.id/catatan/catatan-ustadz-suharto-wisata-peradaban-ke-jepang-bagian-akhir)

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian V)

Hotel Monterey Kobe
Dari Masjid Kobe, kami diinapkan di sebuah hotel baru, Hotel Monterey Kobe, namun didesain klasik model Spanyol, mulai dari arsitek, taman, hingga kamar, semuanya bernuansa Spanyol. Selepas Maghrib kami berjalan-jalan menikmati keindahan malam Kota Kobe. Jalanan dan pertokoan sangat ramai dikunjungi orang, maklum hari itu adalah malam Sabtu, waktunya masyarakat Kobe untuk bersantai setelah bekerja keras 5 hari di kantor. Guide membawa kami ke sebuah mal bawah tanah. Teman-teman bisa berbelanja oleh-oleh sekaligus mendapat banyak pilihan restoran untuk makan malam. Selesai makan malam, kami kembali ke Hotel Monterey untuk segera beristirahat, karena paginya sudah harus berangkat ke Hiroshima dengan Shinkansen.
Home Stay di Hiroshima
Setelah makan pagi di restoran hotel, kami bersiap-siap ke stasiun Kobe naik Shinkansen ke Hiroshima. Perjalanan hanya membutuhkan waktu sekitar satu jam. Setiba di Hiroshima, kami menuju Royal Hotel untuk bertemu dengan keluarga home stay. Pukul 13.30 kami semua sudah berkumpul di lobi hotel. Beberapa saat kemudian, datang seorang bapak mencari anggota delegasi yang akan diajak ke rumahnya. Demikian satu demi satu mereka berdatangan dan kami berpisah menuju lokasi rumah yang berbeda-beda di wilayah Hiroshima.
Saya sendiri dijemput seorang ibu, berusia sekitar 64 tahun, mempunyai dua orang anak dan dua orang cucu yang semuanya tinggal di Tokyo. Beliau adalah Ibu Midari, tinggal di sebuah kota pelabuhan kecil bernama Kure dengan suaminya, Tuan Ishamo. Saya diajak ke rumah beliau yang berlokasi di perbukitan tinggi. Suhu udara di daerah perbukitan ini lebih dingin dibanding Kobe atau Kota Hiroshima.
Saya diberi sebuah kamar di lantai bawah yang cukup luas, sepertinya juga berfungsi untuk menerima tamu lesehan. Rumahnya tidak luas, namun bersih, dan penataannya cukup artistik. Ada jendela kaca transparan menghadap halaman dan sisi lainnya disekat kayu. Tersedia pula meja kayu persegi di atas lantai serta beberapa almari dinding untuk menyimpan peralatan tidur. Baru saja kami memasuki rumah, sudah ada seorang ibu lainnya yang datang sambil membawa makanan. Tampaknya, ia adalah tetangga Ibu Midari yang sudah mendapat kabar akan adanya tamu Indonesia yang ikut program home stay. Kami berkenalan dan beliau menyatakan kegembiraannya. Ternyata profil pondok yang lengkap dengan foto kegiatannya, termasuk foto keluarga yang saya bawa bisa menjadi sarana efektif untuk berkomunikasi.
Pada hari Ahad, 27 Oktober 2013, Tuan Ishamo bersama Ibu Midari sudah menyiapkan acara istimewa untuk saya. Beliau mengajak saya naik mobil keluarga melintasi pulau-pulau kecil, menembus jembatan yang menghubungkan antarpulau di wilayah Hiroshima selatan. Setiap kali melewati panorama yang indah, kami turun beberapa saat untuk berfoto dan menikmati indahnya panorama. Kebun-kebun buah yang sedang berbuah ranum kami lewati, tebing-tebing terjal di sisi pantai kami lalui. Banyak para biker menikmati keindahan panorama alam dengan bersepeda balap. Resort dan hotel-hotel di tepian pantai juga bertebaran.
Setelah melewati dua pulau kacil, kami tiba di sebuah kota pelabuhan dengan mercusuar mininya. Konon, pelabuhan ini sangat ramai dan banyak pelaut yang menginap beberapa hari di perumahan-perumahan penduduk di pulau ini, tapi saat ini sudah sepi dan tinggal para nelayan lokal yang mempunyai kapal-kapal ikan di pelabuhan.
Kemudian kami mengunjungi lokasi wisata di sebuah pantai berpasir putih yang hari itu masih sepi. Biasanya ramai dikunjungi di hari-hari libur dan akhirnya kami memilih sebuah restoran kecil menghadap ke laut untuk makan siang. Lalu kami menyempatkan diri masuk ke museum kapal selam. Menurut informasi yang dapat, di masa Perang Dunia I dan II, Kota Kure menjadi pelabuhan militer Jepang yang sangat penting dan strategis.
Berpose dengan keluarga program home stay
Berpose dengan keluarga program home stay
Pada Senin pagi, 28 Oktober 2013, kami berangkat ke Hisroshima untuk bertemu dengan teman-teman yang lain di Taman Perdamaian Hiroshima. Sepanjang perjalanan menuju Taman Perdamaian, saya sangat menikmati keindahan alamnya. Selain indah, juga tertata rapi dan bersih. Rute yang kami lalui kebetulan di pinggir pantai. Beberapa kali bus yang kami tumpangi memasuki terowongan yang memang cukup banyak di Jepang. Memasuki Kota Hiroshima, kami melintasi jembatan panjang di atas Selat Hiroshima. Tampak sekali pabrik-pabrik besar di pinggiran pantai Hiroshima, seolah tidak ada bekas yang menunjukkan kota ini pernah diluluhlantakkan bom atom.
Pada jam 9 pagi, kami sudah sampai di Taman Perdamaian Hiroshima, lokasi bekas dijatuhkannya bom atom pada 6 Agustus 1945 lalu. Teman-teman juga mulai berdatangan, sehingga tepat pukul 09.30 kami sudah lengkap berkumpul kembali. Setelah berfoto bersama dengan keluarga home stay, kami berpamitan dan mengucapkan banyak terima kasih atas segala kemudahan dan bantuan yang diberikan kepada kami selama program home stay.
Kami menelusuri Taman Perdamaian dari ujung barat, menyaksikan gedung bekas reruntuhan serangan bom yang masih diabadikan, menelusuri pinggiran sungai yang dahulu berisi puluhan ribu jasad manusia yang tidak bernyawa, hingga akhirnya ke museum. Di museum, kami melihat gambar-gambar yang menyedihkan, keadaan Hiroshima sebelum dan sesudah pengeboman, efek kerusakan dan korban yang ditimbulkan, serta film singkat bagaimana proses letusan bom atom.
Di akhir kunjungan, kami sempat bertemu dengan salah seorang ibu yang menjadi saksi mata letusan bom atom, umurnya sudah lebih dari 80 tahun. Konon, dia sudah melakukan operasi plastik sebanyak 15 kali untuk menyembuhkan luka-luka akibat radiasi bom. Beliau bercerita dengan nada suara penuh kesedihan dan ratapan, seolah-oleh mengajak kami ikut merasakan saat-saat bom meletus.
“Saat itu 6 Agustus 1945, udara cerah dan matahari terasa panas menyengat. Tidak ada bunyi sirine yang kami dengar, yang berarti kami dalam situasi aman dari serangan udara. Anak-anak sekolah sedang dimobilisir ke pabrik-pabrik. Hiroshima dijadikan sebagai pabrik industri senjata bagi Jepang. Tiba-tiba ada ledakan dahsyat. Bola api berbentuk cendawan membubung ke langit, suhu udara mencapai 3000 derajat, semua yang dilalui terbakar habis, angin sangat kencang, sehingga bola mata manusia akan terlepas. Bangunan kayu pun kalau tidak terbakar pasti habis disapu angin. Banyak orang menceburkan diri ke sungai karena kepanasan, padahal sungai sudah terkena radiasi, dalam waktu singkat, 60 ribu nyawa melayang dan setiap hari terus bertambah hingga mencapai 140 ribu jiwa. Hujan turun beberapa hari kemudian, tetapi airnya hitam dan mengandung racun. Sumur-sumur penduduk tercemari radiasi yang selama puluhan tahun kemudian mengakibatkan berbagai macam penyakit yang tidak bisa disembuhkan.” Demikian sepotong kisah ibu yang manjadi saksi kekejaman bom atom di Hiroshima.Jepang Bagian V (4)
Setelah kunjungan ke Hiroshima, kami makan siang dan menuju stasiun kereta super ekspres Shinkansen menuju Tokyo kembali. Kali ini perjalanan kami cukup jauh, bahkan yang terjauh dibanding ketika kami naik Shinkansen ke Kyoto pertama kali. Lebih dari empat jam kami butuhkan untuk kembali ke Tokyo dari Hiroshima, padahal kecepatan kereta antara 270–300 km/jam. Kami berharap bisa menyaksikan Gunung Fujiyama di sebelah kiri dari kereta Shinkansen, tapi tampaknya kami kurang beruntung, selain cuaca yang mendung, waktunya juga sudah menjelang malam saat kami menjelang Tokyo.
Kemudian, diantar bus, kami menuju Tokyo Prince Hotel, seperti saat kami baru datang ke Jepang. Kali ini kami akan menginap lebih lama di hotel ini karena sisa waktu yang masih tiga hari akan kami habiskan di Tokyo, dua hari untuk kunjungan dan hari ketiga untuk keberangkatan menuju tanah air tercinta.

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian IV)


Bersama Bapak Yamada
Bersama Bapak Yamada
Bapak Yamada, Petani Inspirator dan Motivator Jempolan
Selesai jamuan makan siang yang sangat mengesankan, kami melanjutkan perjalanan untuk meninjau teknologi pertanian di Kyoto. Seorang petani sukses berusia sekitar 45 tahun, Bapak Yamada, memiliki kreativitas tinggi dan keuletan dalam usaha. Apa yang sudah dicapai beliau berikut kiat-kiatnya benar-benar merupakan inspirasi bagi kami semua, bukan hanya untuk mengembangkan pertanian, tetapi juga untuk memajukan pesantren.
Yamada muda adalah anak seorang petani daun bawang. Sebagaimana petani daun bawang lainnya yang menggarap lahan tidak terlalu luas, penghasilan orang tuanya bisa dikatakan minim, hanya 6 juta yen setahun, itupun dikerjakan bertiga. Karena itulah, pada awalnya Yamada tidak tertarik sama sekali untuk melanjutkan usaha pertanian orang tuanya. Dia bekerja di sebuah perusahaan pakaian dengan penghasilan yang pas-pasan. Akhirnya Yamada muda terpanggil untuk mengembangkan pertanian orang tuanya, tetapi dia tidak mau hanya bertani secara konvensional. Baginya, bertani harus disertai impian, obsesi, dan target yang lebih baik, lebih intensif dan produktif.
Yamada melihat pertanian tidak banyak diminati para pemuda, penghasilannya sangat minim, modelnya masih konvensional dan tradisional. Para petani memang mempunyai usaha sampingan, tetapi seringkali tidak berkaitan dengan pengembangan pertanian mereka. Hari libur untuk para petani dalam setahun hanya 20 hari, sementara para pegawai bisa memiliki masa berlibur 100 hari, itu pun penghasilan para petani tidak bisa melampaui para pegawai. Banyak petani yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pabrik (konsumen), sementara para pedagang tengkulak yang menjualkan hasil pertanian ke konsumen mempunyai penghasilan jauh lebih besar dari petani itu sendiri. Itulah hal-hal yang menggelitik Yamada untuk membuat terobosan dalam bidang pertanian.
Untuk merevolusi pertanian keluarganya, langkah-langkah yang ditempuh Yamada adalah mencanangkan target penghasilan yang biasanya hanya 6–7 juta yen menjadi 100 juta yen. Sebabnya, di Jepang, seorang laki-laki yang bisa dikatakan mandiri dan mampu menghidupi keluarganya harus mempunyai penghasilan lebih dari 100 juta yen. Langkah berikutnya adalah berkonsentrasi menekuni satu jenis pertanian saja, yaitu bawang daun (koiju), karena hal itu akan mempermudah pengelolaan di samping mempermurah pembiayaan. Setiap hari bisa menghasilkan dan akhirnya bisa membuat kontrak kerja dengan para pembeli. Karena itu, Yamada mencoba mengatasi permasalahan produksi, bagaimana bisa melakukan produksi setiap hari, bukan musiman, karena kebutuhan dan permintaan juga harian. Kalau tidak sanggup menyediakan stok harian, tidak akan ada kontrak kerja.
Pada tahun pertama, hasil usahanya mencapai peningkatan, meskipun masih belum mencapai target, dari 6 juta yen menjadi 16 juta yen. Penghasilan tersebut dibagi, sebagian untuk konsumsi dan sebagian untuk pengembangan produksi. Pandangan masyarakat Jepang bahwa sayuran Kyoto lebih berkualitas dibanding wilayah lain sangat menguntungkan pertanian Yamada. Untuk itu, dia membangun citra sebagai penghasil bawang daun berkualitas khas Kyoto. Yamada menyadari bahwa untuk mencapai pengahasilan 100 juta yen, dia harus melipatgandakan produksi menjadi 10 kali lipat, dan hal itu tentunya tidak mudah, sementara lahan yang dimilikinya sangat terbatas. Langkah berikutnya adalah mempelajari sistem lelang hasil pertanian selama 3 bulan untuk mengetahui seluk-beluk dan alur perdagangan hasil pertanian dari tangan petani hingga pabrik atau konsumen langsung. Banyak orang yang tidak senang dengan langkah ini karena berpotensi merugikan mereka yang sudah mendominasi perlelangan ini, tetapi Yamada dengan gigih terus belajar langsung ke lapangan.
Tidak hanya berhenti di situ, Yamada juga belajar bagaimana daun bawang yang biasanya dijual utuh akan dipotong dengan rapi dan dikemas dengan indah, selanjutnya dikirim ke restoran-restoran yang membutuhkannya secara langsung. Ternyata hal ini mendapat respon sangat baik dari pihak restoran mie China yang banyak menyedot produksi daun bawang, karena mereka baru menemukan petani yang langsung menjual sayurannya dengan kemasan yang baik serta kualitas yang juga baik. Kontrak pun dibuat. Untuk memenuhi permintaan, dibutuhkan suntikan modal besar, membeli alat-alat pemotong yang baik, alat kemasan dan lain sebagainya. Sebenarnya, setiap usaha progresif yang dilakukan Yamada selalu ditentang orang tuanya, tetapi Yamada bergeming dan mengambil pelajaran dari peristiwa ini, “Kalau saya tidak bisa menyelesaikan permasalahan dengan orang tua saya, bagaimana saya bisa memajukan perusahaan ini?” kenang Yamada.
Karena permintaan semakin banyak, Yamada menggalang para petani lain untuk usaha ini. Pelatihan dan penyuluhan kerap dia lakukan. Asosiasi petani daun bawang dia bentuk, dan akhirnya banyak yang mendukung dan sama-sama berkembang. Yamada juga membuat brosur-brosur untuk memperluas jangkauan penjualan daun bawangnya. Pernah suatu ketika ada isu bahwa mie yang diimpor dari China mengandung racun. Hal ini berdampak cukup signifikan bagi restoran-restoran mie dan otomatis bagi daun bawang para petani. Tetapi hikmahnya cukup besar, yaitu kesadaran dan kebutuhan akan hasil pertanian yang baik, berkualitas, dan menyehatkan. Tahun demi tahun usaha Yamada dengan teman-temannya terus berkembang dan meningkat. Lahan pertanian semakin meluas, pabrik pengolahan semakin representatif, usaha juga dikembangkan dengan peternakan ayam petelor yang berkualitas untuk membuat kue, kotoran ayamnya untuk rabuk bawang daun, karena sayuran yang diminati adalah yang bebas dari pestisida. Demikianlah, hasil dari kreativitas, mengerjakan hal-hal yang tidak biasa dilakukan orang lain, pandangan ke depan yang visioner, kejujuran, keuletan, dan kerja keras tak kenal lelah telah menghantarkan Yamada menjadi petani sukses. Kalau dahulu penghasilannya hanya 6 juta yen, saat ini sudah mencapai 724 juta yen.
Saya sangat apresiatif akan kerja keras Yamada, tetapi saya tidak hanya melihat dari sisi pertaniannya semata, karena kiat dan rumusan yang dijalankan Yamada sejatinya bukan hanya untuk pertanian, tetapi berlaku universal, untuk pengembangan usaha apa saja, termasuk memajukan pesantren di Indonesia. Yamada bukan hanya sosok petani modern Jepang yang sukses, tetapi seorang motivator dan inspirator ulung. Kita bisa memajukan pesantren dengan jalan: mempunyai obsesi yang tinggi, target yang jelas, mempelajari segala hal yang dibutuhkan untuk menopang kemajuan, menjadikan hambatan sebagai tantangan untuk ditaklukkan, terus belajar, melakukan yang orang lain tidak melakukannya, suka berbagi dan membuat komunitas kebersamaan, ulet, jujur, tekun, pandai melihat peluang, komunikasi dan sosialisasi yang efektif dengan semua pihak, ditambah dengan kekuatan doa kepada Allah, insya Allah pesantren kita akan lebih maju lagi.
Ustadz Suharto memperlihatkan buku profil Gontor kepada Kepala Sekolah Toda-iji.
Ustadz Suharto memperlihatkan buku profil Gontor kepada Kepala Sekolah Toda-iji.
SMP-SMU Toda-iji
Setelah berkunjung ke pabrik daun bawang yang dikelola oleh Bapak Yamada, kami melanjutkan perjalanan dari Kyoto ke Nara. Kali ini kami menginap di Hotel Nikko Nara yang lokasinya satu komplek dengan sebuah stasiun kereta cepat. Nara adalah sebuah kota kuno yang sangat relijius di Jepang. Pada abad ke-17, Nara pernah menjadi ibukota Jepang sebelum dipindah ke Kyoto dan akhirnya ke Tokyo. Di kota ini ada sebuah kuil Budha yang sangat terkenal, namanya Kuil Todaiji, mempunyai bangunan kayu terbesar di dunia yang sudah masuk sebagai cagar budaya UNESCO, dengan taman luas yang dipenuhi ratusan ekor rusa jinak. Di bangunan utamanya terdapat patung Budha terbesar di Jepang setinggi 11 m. Setiap hari, kuil ini ramai dikunjungi oleh ribuan peziarah yang diharuskan membeli tiket untuk donasi operasional dan kegiatan sosial kuil berkisar antara 350 sampai dengan 500 yen.
Di tempat ini, kami mengunjungi sebuah sekolahan tingkat menengah (SMP dan SMU) yang dikelola oleh Kuil Toda-iji, kemudian berkunjung langsung ke kuil untuk bertemu salah seorang pendeta (biksu) senior di Jepang, Bapak Marimoto, yang juga bisa berbahasa Arab karena pernah belajar di Universitas Kairo Mesir selama satu setengah tahun. Visi dan misi sekolah ini adalah memberikan kemampuan akademis dasar untuk mampu melanjutkan ke perguruan tinggi, membentuk jiwa mandiri dan kebebasan kepada siswa, serta membangun jiwa humanisme yang kaya hati dan mempunyai kepedulian kepada orang lain, alam, hingga binatang.
Ketika kami mengadakan peninjauan, seperti di SD Takanawadai, kami menemukan suasana belajar yang bergairah. Anak-anak memang bebas berpakaian namun sopan (tanpa seragam). Guru sangat interaktif, komunikatif, dan menguasai masalah. Sarana dan fasilitas lengkap. Perpustakaan, laboratorium Mafikib, bahasa, komputer, sarana olah raga, gedung pertemuan, dan teater, semuanya memadai. Kegiatan olahraga dan ekstrakurikuler sangat maju. Anak-anak di SMP dan SMA Todaiji ini menjadi langganan juara berbagai lomba atletik, olahraga, bela diri Judo, dan olimpiade sains di tingkat regional maupun nasional. Saya mencatat pengajaran dan pengembangan sains menjadi andalan, penekanannya bukan pada menghapal tetapi pada pola pikir yang observatif, analisis, kreatif dan kritis. Lebih dari semua itu pendidikan karakter masih sangat kuat mewarnai program pendidikan dan pengajaran di sekolah ini.
Jepang Bagian IV (6)Kuil Toda-iji dan Pendeta Marimoto
Ketika berkunjung ke Kuil Toda-iji, Pendeta Marimoto menjelaskan bahwa ketika kuil dibangun oleh Kaisar Sumo di abad ke-8, Jepang masih merupakan negara muda, sehingga UU-nya diadopsi dari Cina. Hukum memang bisa mengontrol perilaku masyarakat, tetapi tidak bisa mengontrol hati manusia. Saat itu merupakan masa yang sulit bagi rakyat Jepang, banyak kemiskinan dan penyakit menular. Karena itu, Kaisar memerintahkan membangun kuil-kuil di setiap kabupaten. Setiap kuil membutuhkan 20 orang biksu dan biksuni (wanita). Kalau di Jepang ada 60 kabupaten, maka dibutuhkan 1.020 orang biksu dan biksuni, hal inilah yang mendorong didirikannya kuil Toda-iji sebagai tempat pembinaan dan pendidikan calon biksu dan biksuni. Pendeta Marimoto juga menambahkan bahwa dahulu ketika Jepang terseret dalam perang saudara, banyak kuil yang dibakar, termauk Kuil Toda-iji ini, namun kemudian direnovasi kembali.
Kunjungan ini berlanjut dengan dialog cukup lama di ruang khusus. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan bahwa umat Islam Indonesia mempunyai harapan besar agar umat Islam Rohingya bisa hidup secara harmonis tanpa intimidasi dan permusuhan. Beliau juga menyesalkan hal itu dan menyatakan bahwa perang dan dendam bukanlah ajaran Budha. Beliau bertanya tentang Arab spring yang mengakibatkan gejolak perang dan kehancuran saat ini. Saya katakan, itu tidak ada sangkut pautnya dengan agama (Islam), melainkan hanya persoalan politik, karena rakyat sudah bosan hidup di bawah penindasan para tiran. Beliau pun setuju. Sebuah kunjungan dengan dialog yang sangat mengesankan. Setiap agama pastilah mempunyai ajaran-ajaran luhur yang universal, saling mengenal dan memahami akan bisa menggerus konflik dan perselisihan, bahkan bisa menguatkan jalinan kerjasama untuk kemajuan bangsa.
Osaka Castle
Pada hari berikutnya kami melanjutkan perjalanan ke Osaka dan Kobe. Kami berkesempatan mengunjungi Istana Osaka yang terletak di Distrik Chuo-ku. Istana Osaka berada di ujung paling sebelah utara daerah Uemachi, menempati lokasi tanah yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah sekelilingnya. Istana Osaka merupakan bangunan peninggalan budaya yang dilindungi oleh pemerintah Jepang. Menara utama Istana Osaka yang menjulang tinggi merupakan simbol Kota Osaka.
Jepang Bagian IVIstana Osaka dimanfaatkan sebagai istana sekaligus benteng sejak zaman Azuchi Momoyama hingga zaman Edo. Istana Osaka yang ada sekarang terdiri dari menara utama yang dilindungi oleh dua lapis tembok tinggi yang dikelilingi oleh dua lapis parit, parit bagian dalam (uchibori) dan parit bagian luar (sotobori). Air yang digunakan untuk mengaliri parit istana diambil dari Sungai Yodo, mengalir di sebelah utara Istana Osaka. Di sudut sebelah barat daya Ninomaru, terdapat Pintu Gerbang Otemon (Gerbang Besar) yang merupakan pintu masuk utama ke seluruh kompleks istana. Menara pengawas yang ada di atas Pintu Gerbang Otemon disebut Tamon Yagura. Di sebelah utara Tamon Yagura terdapat menara pengawas bertingkat dua Sengan Yagura dengan gaya arsitektur zaman Tokugawa.
Walaupun berstatus bangunan lama, Istana Osaka memiliki sistem konstruksi yang kuat serta artistik, menunjukkan peradaban tinggi yang sudah lama dimiliki orang-orang Jepang. Bangunan-bangunan utamanya terdiri dari kayu-kayu besar terbaik yang ada di seluruh profektur (propinsi) Jepang sebagai persembahan dan bukti loyalitas rakyat terhadap Kaisar. Demikian pula batu-batu yang dipasang pada dinding benteng, mempunyai bobot ratusan ton. Untuk zaman sekarang, mungkin banyak alat berat bisa mengangkat batu-batu itu, tetapi bagaimana jika itu ratusan tahun lalu? Teknik apa yang mereka pakai? Semua itu hanya menyisakan kekaguman kami atas etos kerja luar biasa yang dimiliki bangsa Jepang. Menjelang pukul 11.00 waktu Osaka, kami bergegas kembali ke bus untuk melanjutkan perjalanan ke Konjen RI di Osaka guna melaksanakan shalat Jum’at.
Jepang Bagian IV (7)Menjadi Khatib Dadakan
Tiba di kantor Konjen, kami disambut Bapak Bambang, Konjen RI di Osaka. Beliau bercerita, sebelum 1995, kantor Konjen RI berada di Kobe, namun karena hancur terkena gempa, akhirnya dipindah ke Osaka, kebetulan di Osaka juga banyak WNI yang tinggal, baik sebagai pekerja maupun pelajar.
Saat ibadah shalat Jum’at sudah tiba, ruang tamu disulap menjadi mushalla. TGH Abdul Karim yang kami juluki sebagai mufti, karena menjadi rujukan dalam berfatwa, menunjuk saya sebagai khatib dan beliau sendiri yang menjadi imam. Menurut beliau, hal ini sudah ditawarkan kepada teman-teman yang lebih senior, namun semua menolak. Khutbah saya singkat saja, mengaitkan hijrah dengan perjalanan kami sebagai starting poin menuju perubahan yang lebih baik.
Masjid Kobe, Masjid Tertua di Jepang
Dari kantor Konjen RI, kami menuju Kobe untuk shalat Maghrib di Masjid Kobe, masjid tertua dan pertama di Jepang yang dibangun pada tahun 1928 di kawasan paling terkenal di Kobe, Nakayamate Dori, Chuo-ku. Masjid ini berdiri sangat kokoh dan anggun di antara bangunan-bangunan berarsitektur Eropa lainnya. Hal ini bisa dilihat dari kubah besar dan dua buah menara kembar di sampingnya.
Masjid Kobe
Masjid Kobe
Menurut catatan sejarah, pendirian masjid ini tidak terlepas dari kedatangan para pedagang Muslim yang berasal dari wilayah India dan Timur Tengah ke kota Kobe seabad yang lalu. Jumlah para pedagang Muslim yang tinggal di Kobe pada awal tahun 1900-an masih terbilang sedikit. Mereka biasa melaksanakan berbagai kegiatan keagamaan di rumah-rumah atau aula hotel. Pada tahun 1920-an, jumlah komunitas muslim di Kobe kian tahun kian meningkat. Akhirnya, mereka segera memutuskan untuk membangun Masjid Kobe.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa perancang Masjid Kobe adalah seorang arsitek asal Ceko bernama Jan Josef Svagr. Arsitek inilah yang telah merancang banyak bangunan bergaya Barat di Jepang. Svagr merancang masjid ini dengan gaya Turki tradisional. Masjid Kobe ini pernah menjadi korban keganasan Perang Dunia II. Akibat dari serangan itu, Kota Kobe bisa dibilang rata dengan tanah. Sebagian besar bangunan luluh-lantak. Tapi, keajaiban terjadi. Masjid Kobe tetap berdiri tegak, subhanallah. Masjid ini hanya mengalami keretakan pada dinding luar dan semua kaca jendelanya pecah. Bagian luar masjid menjadi agak hitam karena asap serangan bom.
Pemerintah Arab Saudi dan Kuwait menyumbang dana renovasi dalam jumlah yang besar. Kaca-kaca jendela yang pecah diganti dengan kaca-kaca jendela baru yang didatangkan langsung dari Jerman. Sebuah lampu hias baru yang indah digantungkan di tengah ruang shalat utama sehingga membuat megah masjid ini. Sistem pengatur suhu ruangan dipasang untuk membuat nyaman para jamaah masjid. Umat Islam kembali menikmati kegiatan-kegiatan keagamaan mereka di Masjid Kobe. Donasinya bahkan bisa membuat Masjid Kobe menjadi semakin berkembang pesat. Pada tahun 1992, Masjid Kobe memiliki fasilitas untuk pusat kegiatan Islam berupa bangunan kelas, ruang resepsi, perpustakaan, kantor, dan bangunan apartemen.Jepang Bagian IV (9)
Ketahanan Masjid Kobe pernah diuji kembali pada 17 Januari 1995. Kali ini dengan gempa berkekuatan 7,2 skala Richter, yang dinamakan gempa Hanshin-Awaji. Walaupun kota Kobe saat itu hancur berantakan, tetapi Masjid Kobe tetap berdiri kokoh di antara puing-puing bangunan di sekitarnya. Pemandangan luar biasa ini membuat Masjid Kobe menjadi sorotan penting dalam pemberitaan di media massa. Tidak heran jika masjid ini menjadi tempat penyelamatan bagi para korban gempa dan sekali lagi menjadi tempat pengungsian warga Kobe.

(http://www.gontor.ac.id/catatan/catatan-ustadz-suharto-wisata-peradaban-ke-jepang-bagian-iv)

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian III)


Kegiatan siswa-siswi SD di Jepang
Kegiatan siswa-siswi SD di Jepang
SD Takanawadai Minatokuritsu Tokyo
Pada Senin pagi, 22 Oktober 2013, kami diagendakan berkunjung ke SDN Takanawadai Minatokuritsu, Tokyo. Setibanya rombongan kami di halaman SD Takanawadai, Bapak Wakil Kepala Sekolah dengan beberapa guru sudah siap menyambut kami. Selanjutnya kami diajak menyusuri lorong-lorong gedung, menaiki tangga ke lantai dua menuju ruang pertemuan. Standar kebersihan terjaga, setiap sudut bersih dan rapi, banyak kami temukan wastafel untuk mencuci tangan, bahkan kadang dalam jumlah banyak, berjajar dengan 5 keran atau lebih. Jepang membiasakan anak-anak sejak kecil untuk menjaga kebersihan, terutama dengan mencuci tangan sehabis aktivitas apa saja, sehingga tidak ada kuman penyakit yang akan masuk ke badan melalui makanan. Rak-rak sepatu tertata rapi, anak-anak memakai sepatu khusus dari rumah dan nanti akan mereka ganti dengan sepatu yang khusus lagi di sekolah, kadang cukup dengan sandal selop saja.
Semua lantai sekolah terbuat dari kayu, lebih sehat, lebih lunak dan mampu menahan suhu udara yang kadang ekstrim. Tembok-tembok luar kelas dilapisi papan-papan panjang yang dipenuhi dengan tulisan, kaligrafi dan berbagai hasil kerajinan tangan anak-anak, sebagai wahana mereka mengekspresikan kemampuan dan aktualisasi diri. Untuk mendidik kemandirian, anak-anak diberi tugas membersihkan toilet secara bergiliran, membantu melayani teman-temannya menghidangkan makan siang dan lain-lain. Sebuah pendidikan kemandirian sejak dini yang berhasil membentuk karakter anak didik di Jepang.
Sekolah yang kami kunjungi ini dikelola oleh pemerintah, dalam hal ini yang bertanggung jawab adalah pemerintah kecamatan. Jepang menerapkan sistem rayonisasi bagi pendidikan dasar dan menengah, tempat sekolah ditentukan berdasarkan lokasi tempat tinggal mereka, dengan ketentuan berjarak tidak lebih dari 20 menit berjalan kaki. Meski demikian, siswa atau wali siswa tidak perlu khawatir, karena semua sekolah mempunyai standar yang sama, baik sarana, program, maupun kualifikasi para pendidiknya. Sebanyak 98% sekolah di Jepang berstatus negeri, hanya 2% yang dikelola swasta. Anak-anak SD harus berjalan kaki ke sekolah, berombongan dengan teman-temannya yang rumahnya berdekatan, ada ketua kelompok yang ditunjuk, tidak boleh diantar dan tidak pula membawa kendaraan. Anak-anak setingkat SLTP ditolelir membawa sepeda, demikian pula anak-anak SLTA, namun tetap tidak diperkenankan membawa sepeda motor apalagi mobil.
Mayoritas SD Jepang tidak mewajibkan seragam, termasuk SD yang kami kunjungi, anak-anak berpakaian bebas tapi sopan, karena intinya bagaimana membuat anak senang ke sekolah tanpa banyak diberi beban yang memberatkan. Jam pelajarannya mulai dari pukul 07.00 hingga pukul 15.30. Makan siang di sekolah. Kegiatan cukup padat, sehingga anak-anak sudah puas bermain dan belajar di kelas, ketika pulang ke rumah mereka tinggal beristirahat. Jumlah murid SD Takanawadai ada 470 siswa dan siswi. Ketika istirahat, mereka berhamburan berlari meninggalkan kelas menuju lapangan olah raga, masing-masing sudah mempunyai pilihan jenis kegiatan yang dilakukan selama istirahat. Tidak kurang dari 300 anak bertumpah-ruah di lapangan dengan penuh kegembiraan.
Sementara itu di sebuah hall yang cukup luas, yang bisa digunakan untuk olahraga in door, pertunjukan teater dan pertemuan-pertemuan, kami menyaksikan kegiatan anak-anak kelas 2 SD sedang berlatih drama musikal. Guru wali kelasnya mengiringi mereka dengan key board (piano) sementara guru asisten lainnya membimbing anak-anak berperan, tidak ada yang janggal, mereka semua secara alami dan wajar bermain peran dengan penuh keluguan dan kelucuan.
Kami berkesempatan memasuki kelas budi pekerti untuk siswa kelas 4 SD. Di sekolah Jepang tidak ada pelajaran agama, kecuali sekolah-sekolah swasta, dan diganti dengan pelajaran budi pekerti. Seorang ibu guru dibantu dengan seorang guru asisten sedang mengajar di depan kelas. Ketika rombongan kami masuk, anak-anak disuruh memberi hormat kepada kami sambil membungkukkan badan, kemudian pelajaran dimulai. Ibu guru memulai pelajaran dengan mengajukan beberapa pertanyaan kepada para siswa/i tentang barang-barang apa yang menjadi kekhasan bangsa Jepang. Anak-anak menjawab dengan antusias, namun tertib, mereka mengacungkan tangan tanpa mengangkat suara, dan baru menjawab sembari berdiri saat ditunjuk. Ibu guru menganjurkan agar mereka suka memberi hadiah kepada orang lain dengan sesuatu yang indah dan juga dengan sajian yang indah pula. Kemudian Ibu Guru dibantu dengan asistennya memberikan contoh cara membungkus berbagai macam hadiah dengan bentuk yang berbeda-beda.
Bapak kepala sekolah menjelaskan bahwa yang dipentingkan di sekolah ini adalah memberikan kemampuan akademis dasar dan pokok selama 6 tahun, kemudian memelihara hati anak-anak, agar mereka mempunyai hati yang baik terhadap orang tua dan mampu berkomunikasi baik dengan orang lain. Aktivitas di kelas menjadi sarana efektif untuk menata hati (membentuk karakter) anak didik. Yang ditekankan menurut kurikulum nasional untuk anak-anak SD adalah bagaimana bisa mandiri, mengatur kebutuhan dirinya sendiri, mampu berinteraksi dengan baik bersama orang lain, berhati-hati, menghormati orang lain dengan penuh kesopanan, memandang alam termasuk binatang dengan penuh kasih sayang, menaati peraturan yang disepakati bersama masyarakat serta menghormati orang tua. Jelas sekali bahwa Jepang sangat menekankan pendidikan karakter dan pembentukan kepribadian sejak dini, karena mentalitas yang baik bila sudah menjelma menjadi sikap hidup sehari-hari akan membentuk pribadi yang unggul dan kompetitif.
Penanaman budi pekerti dilaksanakan melalui semua pelajaran dan kegiatan, tidak dibudayakan pemberian sangsi kepada siswa/i, mereka hanya akan dievaluasi setiap minggu apa saja aturan-aturan yang sudah dijalankan, dan apa yang belum. Wali kelas sangat berperan untuk mengingatkan dan memotivasi anak didiknya. Namun menurut catatan saya, keberhasilan pendidikan karakter bukan semata-mata hasil pembentukan di sekolah, tetapi memang lingkungan secara umum, baik di rumah, sekolah, maupun di masyarakat juga sangat mendukung, terutama keteladanan nyata dari semua pihak.
Jepang Bagian III (6)Naik Shinkansen ke Kyoto
Setelah kunjungan ke SD, kami menuju stasiun kereta super ekspres Shinkansen untuk melanjutkan perjalanan ke Kyoto. Shinkansen adalah kereta super cepat yang dikembangkan Jepang sejak tahun 1964, kecepatan maksimalnya mendekati 300 km/jam, sehingga jarak Tokyo – Kyoto yang mencapai 600 km bisa ditempuh hanya dalam 2 jam 15 menit. Nama stasiunnya adalah Singagawa, harga tiketnya 20.000 yen untuk tiap penumpang. Para penumpang sudah berbaris rapi menjelang kedatangan kereta, karena kereta hanya berhenti maksimal tiga menit untuk menurunkan dan menaikkan penumpang. Akurasi waktu sangat tepat dan sistem keamanan sangat terjamin, karena sejak diluncurkan hingga saat ini, menurut catatan belum pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan korban jiwa. Goncangan di dalam kereta saat berjalan tidak terlalu keras dan masih cukup nyaman untuk tidur. Setiap kali mendekati stasiun selalu ada pengumuman agar para penumpang bisa bersiap diri untuk turun, disebutkan pula stasiun apa saja yang masih akan kita lewati. Suasana hening, hampir tidak ada percakapan antar penumpang, ring tone HP pun dibuat getar tanpa suara supaya tidak mengganggu orang lain. Modern, nyaman, cepat, akurat, itulah gambaran angkutan umum kereta super cepat Shinkansen.
Kyoto Royal Hotel dan Gion Corner
Setibanya di Kyoto, kami langsung dibawa menuju Kyoto Royal Hotel. Setelah shalat Maghrib, kami berangkat menuju Fukujyen Kyoto untuk menyaksikan peragaan budaya minum teh ala bangsawan Jepang dan berbagai macam kesenian populer rakyat Jepang lainnya. Di daerah Gion Corner bus, kami melewati jalan yang sempit dan sangat padat dengan pejalan kaki, tampaknya daerah itu lebih tepat untuk para pejalan kaki dari pada kendaraan. Rumah-rumah kayu sepanjang jalan dihiasi lampion temaram, meski terkesan tertutup, tetap terasa adanya denyut kegiatan hiburan malam di dalamnya. Akhirnya kami sampai di bangunan utama pertunjukan teater. Pertunjukan itu namanya Gion Corner Show. Gion Corner terletak di dalam Yasaka Hall, pada sisi utara Gion Kaburenjo Hall, terdapat sebuah teater unik yang menyajikan satu jam pertunjukan terdiri dari tujuh macam seni budaya asli Jepang. Di sana juga ada etalase tempat memajang aneka pernak-pernik dan aksesoris yang biasa dikenakan oleh para Maiko dan Geiko. Maiko adalah sebutan bagi gadis Jepang yang sedang “magang” menjadi Geisha. Sedangkan Geiko sebutan bagi Geisha.
Jepang memiliki sejarah panjang masa-masa kekaisaran dan dikenal dengan ragam budayanya yang sebagian masih tetap dilestarikan meski terbatas di kuil-kuil. Gion Corner sendiri menyajikan 7 ragam budaya, yaitu upacara minum teh, seni merangkai bunga khas Jepang, permainan Koto kecapi (zither), komedi klasik Kyogen, pertunjukan musik istana yang disebut Gagaku disertai tarian Maigaku, tarian Kyomai yang dibawakan oleh Maiko san, serta teater boneka Bunraku.
Karena kebanyakan penontonnya turis asing yang hanya berpesiar saja ke Jepang, tentu banyak di antaranya yang tak paham bahasa Jepang. Karenanya, semua seni budaya dan adat istiadat itu mengandalkan kekuatan bahasa tubuh pelakonnya. Meskipun demikian, tetap saja menarik dan berhasil membuat para penonton terbahak-bahak. Pesan moral juga selalu diselipkan dalam setiap ceritanya. Tata panggungnya sangat sederhana, demikian pula lighting-nya, sesuai dengan harganya yang cukup murah untuk ukuran Jepang, hanya 2.500 yen.
Jepang Bagian III (10)Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto
Kunjungan ke Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto menjadi agenda kami berikutnya, Rabu, 23 oktober 2013. Lembaga ini dipimpin oleh Prof. Okamoto dibantu beberapa peneliti yang juga sebagai dosen di Universitas Kyoto. Pada kesempatan tersebut kami diterima langsung oleh Prof. Okamoto, Prof. Ehito Kimura, Prof. Kosuke Mizuno, dan seorang ibu bernama Aulia Khudhari yang sedang mengikuti suaminya mengambil program S3 di Jepang, beliau juga mempunyai 2 anak yang sedang belajar di SD Jepang.
Setelah kami saling memperkenalkan diri, Prof. Okamoto menyampaikan kata pengantar dan kemudian mempersilahkan Prof. Kosuke Mizuno untuk memaparkan pembahasannya. Yang menjadi tema diskusi kami saat itu adalah perbandingan antara sistem pendidikan di Jepang dan Indonesia. Tentu saja banyak perbedaan yang bisa dipaparkan karena Jepang sudah termasuk negara maju, sedangkan Indonesia masih sedang berkembang. Keunggulan di suatu tempat (negara) selalu disertai kekurangan. Diantara keunggulan yang jelas dalam sistem pendidikan di Jepang menurut Prof. Mizunio adalah kegiatan ekstra (non-akademis) termasuk oleh raga yang sangat aktif dilakukan di sekolah oleh para siswa di Jepang. Mereka memang difasilitasi dengan sarana olahraga, kesenian, elektronika, keterampilan, dan lain-lainnya secara memadai. Sementara di Indonesia, meskipun ada jam olah raga, tampaknya alokasi waktu dan sarananya masih jauh dari harapan. Dalam pandangan Prof. Mizuna, kegiatan olahraga yang aktif di sekolah sangat membantu proses pendidikan anak, mulai dari pendidikan jasmani, kesehatan, sportivitas, kerja sama (team work) dan pemanfaatan waktu yang efektif, sehingga ketika pulang anak-anak sudah capek dan segera beristirahat.
Yang kedua adalah masalah pembiayaan. Di Jepang, pendidikan sampai tingkat menengah (SMU) gratis dan sudah dijamin oleh pemerintah, dengan fasilitas yang sangat cukup, baik sarana fisik, pergedungan maupun tenaga pendidik. Sementara di Indonesia terlalu banyak tarikan dana yang membebani orang tua murid. Hal ini tentu saja menghambat peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Yang ketiga, fasilitas perpustakaan lengkap. Sekadar contoh, ketika kami berkunjung ke sebuah SMP, ternyata di sana jumlah koleksi buku perpustakaannya mencapai 58 ribu eksemplar dengan sistem katalogisasi yang serba komputerisasi. Akibatnya adalah budaya membaca yang cukup tinggi, meskipun kadang yang dibaca anak-anak bukan pelajaran, tetapi komik. Namun akhir-akhir ini pengaruh game dan internet sangat besar dan pelan-pelan menggusur budaya baca anak muda Jepang. Dalam hal ini Indonsia masih tertinggal jauh tentunya.
Yang keempat di tingkat Perguruan Tinggi-nya, di Jepang sudah sangat banyak dosennya yang bergelar guru besar (Prof) atau minimal doktor, sedang di Indonesia masih sangat terbatas. Hal ini berpengaruh pada kualitas pengajaran dan penelitian. Banyak dosen Jepang yang juga menjadi guru besar di berbagai universitas Amerika dan Eropa.
Yang kelima, di Jepang tidak ada PMP atau P4 yang didoktrinkan seperti di Indonesia, pendidikan agama juga tidak ada, namun penanaman moral, budi pekerti dilakukan sejak dini. Memang di kalangan remaja sering timbul problema moralitas anak-anak dan banyak orang tua yang tidak bisa mengontrol pergaulan anak-anak gadisnya. Dalam hal ini tampaknya di Indonesia masih lebih baik, karena pendidikan agama dan lingkungan yang religius ikut mengontrol perilaku anak-anak.
Keenam, pendidikan di Jepang lebih menitikberatkan pada pembentukan pola piker kreatif dan bukan hanya memperbanyak pengetahuan secara kognitif kepada anak-anak, meskipun hal ini masih diperdebatkan, tetapi tampaknya lebih pas. Di Jepang, anak biasa dilatih berdiskusi, mengikuti berbagai lomba, dan olimpiade olahraga yang semua itu akan mengasah perkembangan kemampuan anak.
Dan yang ketujuh adalah peran pendidikan keluarga. Jepang juga mementingkan pendidikan keluarga terutama sejak dini, demikian pula di Indonesia. Tetapi mungkin hasilnya berbeda. Kesimpulannya, dimana-mana ada kelebihan dan kekurangan, tetapi sebaiknya kita menyadari akan kekurangan kita untuk mengejar kelebihan dan kebaikan.
Berpose di depan Universitas Kyoto
Berpose di depan Universitas Kyoto
Ibu Aulia Khudhari juga bercerita tentang pengalaman mengasuh anak yang sekolah di Jepang. Intinya, beliau menguatkan apa yang sudah disampaikan oleh Prof. Mizuno tadi. Ketika dibuka kesempatan dialog dan pertanyaan, saya menyampaikan penjelasan singkat kepada para profesor bahwa perbandingan yang dipaparkan barusan adalah benar adanya, tetapi itu antara sistem pendidikan nasional Indonesia dengan sistem pendidikan nasional Jepang. Pertanyaan saya, “Apakah para profesor Jepang sudah banyak meneliti tentang sistem pendidikan pondok pesantren di Indonesia?” Karena pesantren mempunyai sistemnya sendiri yang jauh berbeda dengan pemerintah. Bahkan kalau dicermati, banyak kisi-kisi kesamaan dengan prinsip pendidikan Jepang yang menekankan pada character building melalui pembiasaan, keteladanan dan penugasan-penugasan, pembentukan jiwa mandiri dan aktivitas yang sangat padat untuk penyaluran minat dan bakat anak didik. Menjawab pertanyaan saya, Prof. Mizuno mengakui memang beliau belum mengadakan penelitian tentang pendidikan di pesantren, tapi ada beberapa peneliti Jepang yang menulis tentang pesantren, dan yang baru saja beliau paparkan memang diakui sama sekali tidak menyentuh sistem pendidikan pesantren. Karena itu kami mengundang para profesor untuk berkunjung ke pesantren kami dan mengadakan penelitian di kemudian hari.
Diskusi terus berkembang dan kami membahas berbagai tema yang aktual seperti perkembangan Islam di Jepang, mengapa sangat lambat dibanding di negara Amerika dan Eropa? Menurut para profesor, sebenarnya Islam juga berkembang di Jepang, karena orang Jepang tidak menghalangi penyebaran Islam selama tidak bersentuhan dengan negara, hanya saja citra Islam dan umat Islam di kalangan masyarakat Jepang perlu diperbaiki: negara-negara Timur Tengah dikenal suka perang, sementara itu di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mayoritas Islam masih identik dengan keterbelakangan. Masyarakat Jepang memang mempunyai sikap agak tertutup dari masuknya budaya dan agama lain, sehingga penyebaran Islam harus lebih gigih lagi dijalankan dengan cara-cara yang lebih simpati dan nyata.
Sebagai negara maju bukan berarti Jepang bebas dari problematika, terutama masalah sosial dan demografi. Banyak anak muda yang menunda pernikahan, setelah menikah pun mereka enggan mempunyai anak, mereka harus bekerja, baik suami maupun istri, untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sangat tinggi di Jepang. Mempunyai anak dianggap mengurangi produktivitas. Akibatnya angka kelahiran sangat kecil, meskipun pemerintah sudah menggelontorkan banyak bantuan dan tunjangan bagi mereka yang mempunyai anak. Sementara itu, usia harapan hidup di Jepang termasuk tertinggi di dunia, hingga mencapai 84 tahun. Yang terjadi kemudian adalah piramida terbalik dalam bidang kependudukan, jumlah manula bisa lebih besar dari anak-anak. Lantas siapa yang akan mengisi bangku-bangku sekolah, lapangan pekerjaan dan pelanjut pembangunan Jepang? Itulah masalah sosial yang cukup serius di Jepang.

(http://www.gontor.ac.id/catatan/catatan-ustadz-suharto-wisata-peradaban-ke-jepang-bagian-iii)

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian II)


Tiba di Tokyo Prince Hotel

Tiba di Tokyo Prince Hotel
Tiba di Bandara Internasional Narita
Hari itu, Senin pagi, 21 Oktober 2013, kami tiba di Bandara Internasional Jepang Narita. Kesyukuran kami sangat besar, karena sebelumnya kami tidak pernah menyangka mendapat kesempatan berkunjung ke Jepang, dan seperti mimpi saja, tiba-tiba kami sudah menginjakkan kaki di Negeri Sakura ini. Suasana bandara masih agak sepi, pesawat kami tampaknya termasuk pesawat yang awal landing di hari itu. Narita baru saja diguyur hujan deras, hal itu kami rasakan dari suhunya yang cukup dingin serta air hujan yang masih membasahi halaman parkir. Setelah semua mengecek barang serta memenuhi kebutuhan pribadi lainnya, kami segera mencari penjemput sekaligus guide yang akan membawa kami ke hotel. Tampaknya penjemput belum berada di tempat, untungnya Pak Dadi sebagai ‘kepala suku’ (julukan yang kami berikan untuk ketua rombongan) bertindak sigap dengan mengontak Bapak Shintani di Jakarta. Alhamdulillah, tidak lebih dari seperempat jam kemudian kami disapa oleh penjemput sekaligus guide kami. “Mohon maaf atas keterlambatan penjemputan ini, karena pesawat Anda tiba lebih cepat dari jadwal yang tertulis,” sapa beliau. Kami memaklumi bahwa orang Jepang sangat menghargai waktu, mereka tidak suka datang terlalu awal apalagi terlambat. Ini adalah pelajaran berharga yang kami dapatkan hari ini.
Dalam perjalanan menuju hotel, beliau menerangkan acara kami pada hari pertama di Jepang. Kami akan mendapat waktu istirahat sekadarnya di hotel, makan siang, dan akan mengadakan kunjungan observasi lapangan, city tour mengenal lebih dekat Kota Tokyo, menghadiri pertemuan sambutan di kantor Wakil Menteri Luar Negeri, serta jamuan makan malam di Kantor Dirjen Kementerian Luar Negeri Jepang.
Tokyo Prince Hotel
Kami diinapkan di Tokyo Prince Hotel yang berlokasi di jantung Kota Tokyo, bersebelahan dengan Tokyo Tower yang legendaris, sehingga setiap saat kami bisa menikmati pemandangan indahnya. Prince Hotel didesain sebagai hotel klasik namun mempunyai fasilitas lengkap dan modern. Seperti saat di Jakarta, masing-masing kami mendapat satu kamar hotel, fasilitas lengkap termasuk wifi.
Kami terbiasa untuk membuat perjanjian waktu untuk berkumpul terlebih dahulu sebelum mengikuti suatu acara. Pada hari ini, ada seorang peserta yang agak terlambat turun ke lobi sehingga ditunggu oleh anggota delegasi lainnya. Dengan bahasa yang sopan dan halus, Pak Dadi sebagai ketua rombongan mengingatkan, bahwa hal seperti ini tidak boleh terulang lagi, masing-masing kita harus menghargai waktu, karena kita tidak sendirian, kita bersama rombongan dan terikat dengan acara-acara yang sudah ditentukan, dan juga berkaitan dengan orang lain. Alhamdulillah, semua legowo menerima teguran beliau dan setelah itu semua kegiatan berjalan lebih lancar, karena tidak ada lagi yang terlambat.
Hidangan makan siang kami disediakan di hotel, jatah satu orang untuk makan di hotel sekitar 3500 Yen, di beberapa tempat bahkan bisa mencapai 6000 Yen. Model hidangan di sini adalah prasmanan. Segala macam makanan tersedia, tapi tentunya kami harus memilih yang aman: ikan laut, nasi putih, sayur, kentang goreng, dan buah plus roti menjadi menu utama kami di hotel Jepang. Tampaknya hotel kami selalu fully booked, hal itu tampak pada suasana di restoran yang selalu penuh, baik untuk makan pagi, siang maupun malam, bahkan di hotel ini juga ada beberapa restoran lainnya yang berlokasi di lantai bawah.
Menjelang city tour, kami duduk-duduk di lobi hotel, bekal uang yang saya bawa berupa mata uang dolar, sementara toko-toko di Jepang tidak melayani transaksi selain dengan Yen. Kami bertanya kepada resepsionis hotel untuk penukaran uang, seperti yang kami temukan di Hotel Pullman Jakarta. Ternyata di Prince Hotel ada mesin penukaran uang, kami cukup memasukkan uang Dolar, nanti akan muncul kurs Yen di layar, dan bila kita setuju, segera tekan tombol “Yes”, maka uang Dolar pun sudah berganti Yen, lengkap dengan pecahannya di mesin anjungan tersebut, sangat praktis dan fair. Dalam waktu singkat, beberapa Dolar saya sudah berganti Yen. Alhamdulillah, teknologi memang sangat memudahkan kehidupan manusia, asalkan kita benar dan tepat dalam menggunakannya.
Kuil Asakusa
Tokyo selama ini identik dengan pusat Kota Jepang dengan berbagai bangunan-bangunan megah dan kehidupan yang modern. Namun, di balik itu semua, Tokyo memiliki sebuah kuil yang tidak pernah sepi oleh pengunjung, yakni Kuil Asakusa. Kuil ini sudah berdiri sejak ratusan tahun silam. Walaupun demikian, kuil ini tidak pernah mengalami perubahan sejak didirikan.
Asakusa sebenarnya merupakan nama sebuah desa di sebelah timur laut kota Tokyo, kemudian terkenal untuk nama kuil Budha yang didirikan di sana. Nama kuilnya sendiri adalah Sensoji, konon sudah dibangun sejak abad ke-7, sehingga merupakan kuil tertua di Jepang. Masyarakat Budhis Jepang percaya bahwa di sinilah bersemayam dewi kemurahan dan kemakmuran.
Ketika memasuki Gerbang Asakusa, kesan pertama saya adalah memasuki komplek Masjid Ampel, di mana lorong-lorong jalan menuju main building dipenuhi deretan toko yang selalu dipadati para peziarah. Asakusa seolah mengajak kita memasuki lorong waktu menuju Jepang zaman dahulu, bangunannya bukan hanya megah tetapi juga sangat artistik, disebelah kiri depannya berdiri kokoh sebuah pagoda dengaan lima tingkat yang sejak didirikan beratus tahun lalu belum pernah dipugar, goyangan gempa yang cukup sering di Jepang tidak memberikan efek kerusakan sama sekali pada kuil ini. Ini bukti bahwa sejak zaman dahulu, orang Jepang sudah menggapai kecanggihan ilmu konstruksi bangunan.Jepang Bagian II (2)
Setiap harinya, jumlah peziarah mencapai ribuan bahkan puluhan ribu, dari berbagai kalangan masyarakat, mulai rakyat biasa hingga para pejabat, anak-anak hingga orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan, semuanya bertumpah-ruah di area kuil ini. Setelah memasuki gerbang, pengunjung akan menemukan anjungan bangunan, para penganut Budha bisa mendapatkan sebatang kayu yang dikocok dalam sebuah wadah, kemudian mengambil sebuah tulisan yang disimpan di kotak-kotak kecil sesuai dengan nomor yang ditunjukkan batang kayu tadi, tulisan tadi berisi peruntungan nasib. Selanjutnya mereka akan mendekati padupan yang selalu mengeluarkan asap, mereka berusaha mengasapi sebanyak mungkin badannya dengan harapan mendapat kesehatan serta keberkahan. Di sebelah kanang padupan ada pancuran air untuk bersuci dengan cata berkumur dan mencuci tangan, berikutnya pengunjung menuju bangunan utama untuk berdoa setelah sebelumnya melempar beberapa koin untuk ‘shodaqah’.
Yang menarik, di sebelah bangunan Kuil Asakusa juga berdiri megah kuil agama Shinto, kepercayaan asli masyarakat Jepang. Meskipun pengunjungnya tidak seramai kuil Budha, namun hal ini memberikan pesan bahwa masyarakat Jepang sangat toleran dengan kepercayaan agama yang berbeda-beda.
Taman Kaisar
Sebelum acara di Kantor Wakil Menteri Luar Negeri Jepang, kami diajak mengunjungi Taman Kaisar yang luas, bersih, asri, dan indah. Taman ini didominasi oleh tanaman cemara udang yang terawat indah, dilengkapi bangku-bangku taman yang memadai di antara hamparan permadani rumput hijau yang tebal. Di tengah-tengah taman kami menemukan sebuah patung prajurit berkuda dengan zirah perang yang lengkap, menggambarkan keberanian prajurit Jepang sejak zaman dahulu kala. Para pengunjung bebas menikmati keindahan taman ini, karena lokasinya masih jauh dari bangunan istana kaisar yang dikelilingi benteng kuno di tengah Kota Tokyo.
Istana Kaisar hanya dibuka dua kali setahun, yaitu pada Hari Ulang Tahun Kaisar Akihito, 23 Desember, dan Tahun Baru, 2 Januari. Ketika itu masyarakat berdondong-bondong mengunjungi Istana Kaisar. Jepang merupakan negara demokrasi dengan multi partai, kedaulatan di tangan rakyat, namun mereka mempunyai simbol pemersatu dan spirit masyarakat Jepang, yakni Kaisar. Masyarakat sangat menghormati Kaisar beserta keluarganya. Mereka juga mendapatkan hak-hak istimewa, tetapi dalam ranah politik, kekuasaan Kaisar sangat dibatasi dan diatur oleh undang-undang.
Penyambutan Wakil Menteri Luar Negeri Jepang
Pada sore hari, kami mengadakan kunjungan kehormatan dan audisi dengan Bapak Kishi, Wakil Menteri Luar Negeri Jepang, bertempat di kantor beliau. Acara audisi berjalan lancar, khidmat dan simpel. Dalam kata sambutannya, Bapak Kishi menyampaikan ucapan selamat datang kepada anggota delegasi, kemudian mengungkapkan kebahagiaannya bisa mengundang para pimpinan pesantren di Indonesia berkunjung ke Jepang untuk yang kesepuluh kalinya. Waktu kunjungan ini dipilih yang paling sesuai, musim yang sangat indah, di akhir musim gugur dan awal musim dingin, dengan demikian udara dan cuaca sangat bersahabat. Dalam pandangan beliau, Indonesia adalah negara sahabat Jepang di Asia, yang sedang bergerak maju ke depan, demokratis serta sangat strategis peranannya. Jepang sudah menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama dengan Indonesia sejak 55 tahun lalu, dan acara undangan pimpinan pesantren ke Jepang sudah berlangsung sejak 2004 lalu. Sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia diharapkan bisa berperan lebih banyak lagi untuk perdamaian dunia.Jepang Bagian II (6)
Sebagaimana Indonesia, Jepang juga sudah membuktikan sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi prinsip-prinsip toleransi. Meskipun mayoritas penduduk Jepang beragama Budha, namun kehadiran agama lain juga diterima dan agama tidak menghalangi kemajuan suatu bangsa, seperti agama Budha yang justru mendorong kemajuan Jepang. Selanjutnya Bapak Kishi juga menguraikan runtutan acara yang akan kami ikuti selama 11 hari berada di Jepang. Beliau berharap agar peserta delegasi bisa menikmati kunjungan ini serta mengambil manfaat yang sebesar-besarnya. Karena beliau mengerti bahwa anggota delegasi adalah para praktisi pendidikan, beliau mengingatkan bahwa hasil pendidikan baru bisa dinikmati puluhan bahkan seratus tahun kemudian, tidak bisa instan, tetapi kita harus terus bergerak memajukan pendidikan. Guru mempunyai peran sentral dan strategis dalam pendidikan anak bangsa, karena itu guru harus terus dihormati, dipercayai oleh muridnya. Guru harus terus belajar dan meningkatkan diri. Beliau mengakui, di Jepang pun masih banyak kendala yang dihadapi guru dalam pendidikan, maka kami pun bisa sharing dan bertukar pengalaman. Sementara Bapak Dadi Darmadi mewakili rombongan delegasi menyampaikan sambutan yang intinya menyampaikan banyak terima kasih atas konsistensi Pemerintah Jepang menyelenggarakan acara ini, sehingga terbuka jendela yang lebih luas untuk saling berkomunikasi dan belajar.
Resepsi Jamuan Makan Malam
Selepas diterima Bapak Kishi, kami sudah ditunggu para pejabat Kementerian Luar Negeri beserta sebagian staf di ruangan lain. Hadir dalam acara tersebut beberapa staf KBRI di Tokyo seperti Bapak Ahmad Munir, ketua Japan Foundation Tuan Atsushi Kanai, Tuan Aya Kumakura, Tuan Yutaka Iemura (mantan Duta Besar Jepang di Indonesia), Tuan Naoki Kumagai, Ketua persahabatan Jepang Asia tenggara, Fumihiro Kawakami, dan tokoh-tokoh penting lainnya. Bapak Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Jepang menyampaikan kata sambutan selamat datang kepada para anggota delegasi, kemudian memaparkan hasil-hasil yang sudah dicapai oleh kedua negera (Jepang dan Indonesia) sejak hubungan dan kerjasama bilateral dijalankan 55 tahun lalu. Bapak mantan Dubes Jepang untuk Indonesia tahun 2004, Yutaka Iimura juga menyampaikan kata sambutannya. Beliau bernostalgia dengan Jakarta dan Indonesia serta menyampaikan harapan-harapannya untuk kunjungan kami. Acara berikutnya adalah menyantap hidangan makan malam yang khas Jepang. Kami bersyukur sudah mulai diperkenalkan masakan Jepang sejak di Jakarta, sehingga cepat familiar dengan hidangan di Kantor Kementerian Luar Negeri ini. Setelah selesai jamuan makan malam, kami bergegas kembali ke hotel untuk beritirahat, karena besok pagi-pagi kami sudah dijadwalkan mengikuti acara berikutnya: berkunjnung ke sebuah SD Negeri dan melanjutkan perjalanan ke Kyoto.
(
http://www.gontor.ac.id/catatan/catatan-ustadz-suharto-wisata-peradaban-ke-jepang-bagian-ii)

Catatan Ustadz Suharto: Wisata Peradaban ke Jepang (Bagian I)


Pemberangkatan dari Kedubes Jepang di Jakarta
Pemberangkatan dari Kedubes Jepang di Jakarta
Alhamdulillah, sebuah kesempatan emas saya dapatkan ketika Bapak Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor menunjuk saya untuk mengikuti seleksi program kunjungan pimpinan pesantren ke Jepang atas prakarsa Kedutaan Besar Jepang di Indonesia yang bekerja sama dengan PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat), sebuah lembaga penelitian yang dikelola oleh para dosen peneliti di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Acara bertajuk “Pesantren Leaders’ Visit to Japan” ini berlangsung dari tanggal 20 s.d. 31 Oktober 2013. Setelah ditunjuk untuk mengikuti seleksi, saya langsung menghubungi K.H. Masyhudi Subari, M.A., Direktur KMI Gontor Pusat, untuk memohon penjelasan tentang program tersebut, hal-hal yang harus saya persiapkan dan langkah-langkah yang harus saya tempuh, karena beliau telah berpengalaman mengikuti program ini beberapa tahun lalu bersama H. M. Adib Fuadi Nuriz, M.A., M.Phil. Alhamdulillah, saya mendapatkan gambaran yang jelas sekaligus dorongan motivasi dari beliau.
Kemudian saya mendapatkan informasi dari Ustadz Masyhudi bahwa pada hari Jum’at, 20 September 2013, ada kunjungan dari staf Kedubes Jepang di Jakarta ke Gontor untuk menyampaikan rencana program kunjungan sekaligus wawancara dengan calon anggota delegasi, karena itu saya diminta untuk ikut menghadiri pertemuan tersebut. Yang datang berkunjung dalam kesempatan tersebut adalah Bapak Shintani Naoyuki, seorang penasihat Kedubes Jepang di bidang politik disertai Bapak Dadi Darmadi, seorang pengurus PPIM UIN Jakarta sekaligus dosen UIN Jakarta yang sedang melaksanakan tugas belajar di Harvard University USA. Sementara itu, Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor, K.H. Hasan Abdullah Sahal dan K.H. Syamsul Hadi Abdan, bersama Ketua IKPM K.H. Akrim Mariyat dan Direktur KMI K.H. Masyhudi Subari menyambut kedatangan tamu dari Kedubes Jepang ini.
Dialog
Bapak Shintani ditemani Bapak Dadi Darmadi datang seperempat jam lebih awal dari jadwal, kami menerima beliau berdua di Kantor Pimpinan. Bapak Shintani menjelaskan bahwa program kunjungan delegasi ke Jepang sudah dilaksanakan sejak 10 tahun lalu. Jadi, kali ini akan menjadi kunjungan yang kesepuluh dalam satu dasawarsa. Hal ini menambah keistimewaan kunjungan. Dari pengamatan panitia pelaksana, kunjungan delegasi ke Jepang dinilai positif, baik untuk pihak Jepang dalam mengenalkan budaya dan dinamika masyarakat Jepang yang sangat progresif maupun di pihak anggota delegasi yang sering mendapatkan inspirasi positif untuk kemajuan lembaga pendidikan pesantren yang dikelola. Karena itu acara ini masih akan dilanjutkan. Sementara itu pesantren menjadi prioritas karena dinilai mempunyai basis kuat di masyarakat.
Selanjutnya Bapak Shintani meminta waktu khusus untuk mewawancarai saya di Kantor Pimpinan. Bapak Shintani membuka dialog dengan sebuah pertanyaan, “Tentunya selama ini Ustadz sudah mendengar dan mengetahui Negara Jepang, apa yang terkesan di benak Ustadz tentang Jepang?” Saya manjawab, “Jepang yang saya kenal adalah sebuah negara yang sangat cepat menggapai kemajuan sehingga mampu bersaing dengan negara-negara industri maju di Barat, cepat bangkit me-recovery diri setelah diserang oleh bom atom dan juga dari berbagai bencana gempa bumi serta tsunami. Itulah salah satu poin yang terkesan dalam diri saya.” Pak Shintani melanjutkan, “Kalau nanti Ustadz berkesempatan berkunjung ke Jepang, kira-kira hal apa yang menarik bagi Ustadz untuk dipelajari?” Saya katakan, “Pertama-tama, karena tugas saya di pesantren sebagai Direktur KMI, tentu saya akan banyak mengamati kemajuan sistem pendidikan yang ada di Jepang, saya akan mencari sisi-sisi keunggulan Jepang dalam pendidikan dari berbagai aspek. Selanjutnya berkaitan dengan program besar Gontor untuk membangun Universitas Darussalam yang bermutu, saya juga sangat berkepentingan untuk belajar hal-hal yang berkaitan dengan dunia kampus, metode pengajaran dan pengembangan sains dan lain-lainnya. Dan yang tidak kalah pentingnya bagi saya adalah ingin mengenal lebih jauh karakter, watak dan kepribadian bangsa Jepang sehingga mampu menjadi bangsa yang maju.”
Bapak Shintani menutup dialog dengan pertanyaan ketiganya, “Apakah ada harapan atau barangkali kekhawatiran Ustadz selama acara kunjungan ke Jepang, kalau nanti Ustadz berkesempatan?” Saya menjawab, “Ya, alhamdulillah saya tidak mempunyai kendala kesehatan serius, hanya kadang asam lambung meningkat dan perut agak mual kalau sedang banyak fikiran. Saya berharap agar selama kunjungan nanti bisa tetap leluasa menunaikan ibadah shalat, mendapatkan makanan halal dan tentunya bisa bertemu dengan tokoh-tokoh Islam di Jepang untuk mengetahui perkembangan dakwah Islam di Jepang”. Demikianlah dialog singkat dengan Bapak Shintani sebagai bahan untuk penyeleksian peserta delegasi kunjungan.
Pesan dan Wejangan
Segera setelah mendapat kepastian keberangkatan ke Jepang, saya pergi ke Gontor untuk sowan dan mohon arahan dari Pimpinan Pondok. Setelah saya jelaskan perkembangan rencana kunjungan ke Jepang, mencakup berbagai informasi yang saya himpun selama ini, K.H. Syamsul Hadi Abdan berpesan agar saya bisa mengikuti acara dengan seksama, menyerap segala yang baik untuk memantapkan perjuangan di Gontor. Sementara itu, K.H. Hasan Abdullah Sahal memberikan bekal pengalaman yang banyak, tips-tips dan kiat-kiat saat berkunjung ke Jepang nanti, karena beliau berdua sudah berpengalaman bepergian ke luar negeri, termasuk ke Jepang beberapa tahun lalu, sampai masalah makanan apa saja yang sebaiknya kita persiapkan sendiri selama di Jepang juga beliau sampaikan. Saya ditemani istri juga sempat sowan menghadap K.H. Abdullah Syukri Zarkasyi di kediaman beliau. Sambil menemani beliau melakukan terapi, saya sampaikan rencana kunjungan ke Jepang, memohon restu dan doa serta pesan-pesan sebagai bekal.
Sebelum hari keberangkatan, saya sowan sekali lagi ke Pimpinan Pondok untuk berpamitan. Kali ini, K.H. Hasan Abdullah Sahal mengingatkan saya lagi bahwa muhibah ini bukan sekadar plesir atau tamasya pribadi, tetapi sebuah misi dengan membawa nama besar Gontor, “Kamu merupakan representasi dari Gontor dalam kunjungan ini, apa saja yang harus kamu lakukan, jabarkan sendiri.” Saya memohon doa dan berpamitan setelah mendapat banyak sangu baik berupa maddy maupun ma’nawy.
Keberangkatan
Setelah mendarat di Bandara Internasional Soekarno-Hatta Cengkareng, saya dijemput seorang petugas dari Kedubes Jepang, Pak Taufiq. Sebagai orang pertama yang tiba di bandara, saya diminta untuk menunggu teman-teman peserta yang lain. Beberapa saat kemudian, saya bertemu dengan seorang ibu yang kemudian saya kenal sebagai Ibu Fauziah Direktris Madrasah Mu’allimat Muhammadiyah Jogjakarta. Tidak lama kemudian, kami bertemu seorang ustadz muda dari Sulawesi yang kemudian kami kenal bernama Firdaus, yang ternyata merupakan jebolan Kelas 5 KMI Gontor pada tahun 2007. Masih ada satu peserta lagi yang kami tunggu, yaitu Ustadz Abdul Karim Ghafur dari Lombok, teman seangkatan saya di KMI Gontor pada tahun 1985. Ternyata di mana saja kita akan dengan mudah bertemu anak-anak Gontor. Memang Gontor ada dimana-mana tetapi tidak kemana-mana. Setelah komplit, kami segera meluncur ke Hotel Pullman di dekat Bunderan HI.
Pemberangkatan dan Briefing
Di Hotel Pullman, kami disambut oleh Bapak Shintani dan beberapa staf Kedubes. Jarak antara hotel kami dengan kediaman Dubes Jepang, Bapak Yoshinori Katori sangat dekat. Selain berjarak dekat dengan Kantor Kedubes Jepang, Hotel Pullman dipilih karena banyak menjadi tujuan utama tamu-tamu resmi Jepang. Saat tiba di kediaman Bapak Dubes, tempatnya sudah ramai dipadati orang, sebagian merupakan home staf dan local staf Kedubes, sebagian lagi para pengurus PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tampak hadir pula Bapak Prof. Dr. Azumardi Azra (mantan Rektor UIN), beberapa dosen bahkan para kuli disket juga ramai menghadiri acara ini.
Rapi, disiplin, dan tepat waktu. Itulah standar kegiatan ala Jepang. Bapak Dubes mengawali sambutan dengan ucapan selamat datang kepada para peserta, menerangkan hubungan bilateral antara Jepang dan Indonesia yang semakin harmonis di berbagai sektor serta tujuan diadakannya kegiatan “Pesantren Leaders’ Visit to Japan” ini. Beliau berharap agar para peserta bisa menikmati kunjungan ini serta mendapatkan banyak manfaat untuk dibawa pulang ke Indonesia. Prof. Azumardi Azra mendapat kesempatan menyampaikan kata sambutan berikutnya, beliau mengapresiasi kesediaan Kedubes Jepang untuk konsisten menyelenggarakan acara ini, sehingga kita sebagai umat Islam Indonesia tidak hanya mempunyai memori negatif tentang Jepang, banyak sisi-sisi positif dari negeri Jepang yang bisa kita ambil pasca Perang Dunia II. Beliau juga memaparkan data bahwa sebenarnya ada hubungan yang istimewa antara umat Islam Indonesia dengan Jepang sejak masa persiapan kemerdekaan hingga kini; hanya pada masa Jepang-lah umat Islam Indonesia bersatu di bawah panji satu partai politik Masyumi, Jepang juga yang merintis Kantor Urusan Agama di Indonesia yang menjadi cikal bakal berdirinya Departemen Agama, Jepang juga yang menyiapkan pasukan Peta yang menjadi embrio Tentara Nasional Indonesia dan di era merdeka. Terutama pada beberapa dasawarsa terakhir ini, Jepang ikut aktif memberikan bantuan kepada Indonesia, termasuk pembangunan Fakultas Kedokteran dengan peralatannya yang lengkap berstandar Jepang di UIN Jakarta, dan tentu saja mensponsori acara kunjungan delegasi ke Jepang yang sudah memasuki tahun kesepuluh ini. Beliau berharap agar para peserta bisa belajar banyak dari Jepang. “Kalau belajar agama, kita bisa ke Timur Tengah, tetapi kalau ingin belajar peradaban manusia yang tinggi, ketertiban, kerapian, kebersihan, ketepatan waktu, kedisiplinan dan sebagainya, yang tepat, ya… ke Jepang,” ujar beliau. Memang, kita akan menemukan banyak hal yang sudah hilang di Indonesia justru ada di Jepang, hal-hal yang masih dalam tataran normatif di lingkungan kita sudah sangat aplikatif dan membudaya di Jepang.
Pada hari Ahad, 20 Oktober 2013, Bapak Shintani ditemani staf Kedubes membawa kami ke ruang pertemuan dan kemudian acara briefing pun dimulai. Briefing ini bertujuan memberikan bekal wawasan dan persamaan persepsi kepada para peserta, penjabaran detail program dan bagaimana kami akan mengisi waktu selama 11 hari di Jepang. Acara dimulai dengan perkenalan antara anggota peserta delegasi dan staf Kedubes yang hadir, dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter tentang Jepang dari berbagai aspek, kemajuan teknologi yang dipadu dengan ketekunan dan keindahan, budaya kuliner, keindahan alam, kehidupan keagamaan, pendidikan, dan lain-lain. Selama lebih dari 30 menit kami dibuat terpana menikmati film ini, kekaguman dan rasa salut merayap di dada kami masing-masing. Memang, Jepang bangsa besar, bangsa maju, bangsa yang mampu bangkit dari serangan bom atom dan berbagai bencana, mampu bersaing dengan negara-negara industri maju lainnya di Eropa dan Amerika, hal itu kita semua sudah mengetahuinya, tetapi apa di balik semua itu, mengapa bisa demikian, dan bagaimana Jepang membangun dirinya menjadi negara maju? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya harus kami temukan selama kunjungan 11 hari di Jepang.
Adapun nama-nama peserta kunjungan ke Jepang pada tahun ini adalah Dadi Darmadi (PPIM UIN Jakarta), Abdul Zufri Pauji (PP Annuqthah, Banten), Enong Nurmutia (PP LH al-Ihya, Banten), Ela Holila Ahmad Syahid (PP al-Qur’an,al-Falah, Bandung), Fauziyah Tri Astuti (M Mu’allimat Muhammadiyah, Jogjakarta), Ahmad Suharto (Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo), Muhammad bin Mu’afi Zaini (PP. Nazhatutthullab, Sampang), Abdul Karim Abdul Ghafur (PP. Nurul Bayan, Lombok), Muhammad Husin Ali (PP Darussalam, Martapura), Jailani bin Dulah (PP Rasyidiyah Khalidiyah, Amuntai), Ali Hasan al-Jufri (PP al-Khairaat, Dolo Sulawesi Tengah), Firdaus Abdul Halim (PP. Assalafi, Parappe, Sulawesi Selatan).
Acara briefing lebih banyak diisi dengan tanya jawab, Bapak Shintani sangat sabar melayani pertanyaan para peserta hingga tiba waktu bersantap siang. Setelah briefing kami juga dibekali beberapa brosur dan majalah yang mendeskripsikan Jepang dari berbagai aspeknya. Selanjutnya kami kembali ke hotel, dan bersap-siap berangkat ke Bandara Internasional Soekarno Hatta Cengkareng untuk terbang ke Jepang, waktu flight kami pukul 22.00 WIB yang bertepatan dengan pukul 24.00 waktu Jepang. Penerbangan membutuhkan waktu sekitar 7 Jam sehingga kami tiba di Bandara Narita pada hari Senin, 21 Oktober 2013.
(http://www.gontor.ac.id/catatan/catatan-ustadz-suharto-wisata-peradaban-ke-jepang-bagian-i)