Kegiatan siswa-siswi SD di Jepang
SD Takanawadai Minatokuritsu Tokyo
Pada Senin pagi, 22 Oktober 2013, kami diagendakan berkunjung ke SDN
Takanawadai Minatokuritsu, Tokyo. Setibanya rombongan kami di halaman SD
Takanawadai, Bapak Wakil Kepala Sekolah dengan beberapa guru sudah siap
menyambut kami. Selanjutnya kami diajak menyusuri lorong-lorong gedung,
menaiki tangga ke lantai dua menuju ruang pertemuan. Standar kebersihan
terjaga, setiap sudut bersih dan rapi, banyak kami temukan wastafel
untuk mencuci tangan, bahkan kadang dalam jumlah banyak, berjajar dengan
5 keran atau lebih. Jepang membiasakan anak-anak sejak kecil untuk
menjaga kebersihan, terutama dengan mencuci tangan sehabis aktivitas apa
saja, sehingga tidak ada kuman penyakit yang akan masuk ke badan
melalui makanan. Rak-rak sepatu tertata rapi, anak-anak memakai sepatu
khusus dari rumah dan nanti akan mereka ganti dengan sepatu yang khusus
lagi di sekolah, kadang cukup dengan sandal selop saja.
Semua
lantai sekolah terbuat dari kayu, lebih sehat, lebih lunak dan mampu
menahan suhu udara yang kadang ekstrim. Tembok-tembok luar kelas
dilapisi papan-papan panjang yang dipenuhi dengan tulisan, kaligrafi dan
berbagai hasil kerajinan tangan anak-anak, sebagai wahana mereka
mengekspresikan kemampuan dan aktualisasi diri. Untuk mendidik
kemandirian, anak-anak diberi tugas membersihkan toilet secara
bergiliran, membantu melayani teman-temannya menghidangkan makan siang
dan lain-lain. Sebuah pendidikan kemandirian sejak dini yang berhasil
membentuk karakter anak didik di Jepang.
Sekolah yang kami
kunjungi ini dikelola oleh pemerintah, dalam hal ini yang bertanggung
jawab adalah pemerintah kecamatan. Jepang menerapkan sistem rayonisasi
bagi pendidikan dasar dan menengah, tempat sekolah ditentukan
berdasarkan lokasi tempat tinggal mereka, dengan ketentuan berjarak
tidak lebih dari 20 menit berjalan kaki. Meski demikian, siswa atau wali
siswa tidak perlu khawatir, karena semua sekolah mempunyai standar yang
sama, baik sarana, program, maupun kualifikasi para pendidiknya.
Sebanyak 98% sekolah di Jepang berstatus negeri, hanya 2% yang dikelola
swasta. Anak-anak SD harus berjalan kaki ke sekolah, berombongan dengan
teman-temannya yang rumahnya berdekatan, ada ketua kelompok yang
ditunjuk, tidak boleh diantar dan tidak pula membawa kendaraan.
Anak-anak setingkat SLTP ditolelir membawa sepeda, demikian pula
anak-anak SLTA, namun tetap tidak diperkenankan membawa sepeda motor
apalagi mobil.
Mayoritas SD Jepang tidak mewajibkan seragam,
termasuk SD yang kami kunjungi, anak-anak berpakaian bebas tapi sopan,
karena intinya bagaimana membuat anak senang ke sekolah tanpa banyak
diberi beban yang memberatkan. Jam pelajarannya mulai dari pukul 07.00
hingga pukul 15.30. Makan siang di sekolah. Kegiatan cukup padat,
sehingga anak-anak sudah puas bermain dan belajar di kelas, ketika
pulang ke rumah mereka tinggal beristirahat. Jumlah murid SD Takanawadai
ada 470 siswa dan siswi. Ketika istirahat, mereka berhamburan berlari
meninggalkan kelas menuju lapangan olah raga, masing-masing sudah
mempunyai pilihan jenis kegiatan yang dilakukan selama istirahat. Tidak
kurang dari 300 anak bertumpah-ruah di lapangan dengan penuh
kegembiraan.
Sementara itu di sebuah
hall yang cukup luas, yang bisa digunakan untuk olahraga
in door,
pertunjukan teater dan pertemuan-pertemuan, kami menyaksikan kegiatan
anak-anak kelas 2 SD sedang berlatih drama musikal. Guru wali kelasnya
mengiringi mereka dengan
key board (piano) sementara guru
asisten lainnya membimbing anak-anak berperan, tidak ada yang janggal,
mereka semua secara alami dan wajar bermain peran dengan penuh keluguan
dan kelucuan.
Kami berkesempatan memasuki kelas budi pekerti untuk
siswa kelas 4 SD. Di sekolah Jepang tidak ada pelajaran agama, kecuali
sekolah-sekolah swasta, dan diganti dengan pelajaran budi pekerti.
Seorang ibu guru dibantu dengan seorang guru asisten sedang mengajar di
depan kelas. Ketika rombongan kami masuk, anak-anak disuruh memberi
hormat kepada kami sambil membungkukkan badan, kemudian pelajaran
dimulai. Ibu guru memulai pelajaran dengan mengajukan beberapa
pertanyaan kepada para siswa/i tentang barang-barang apa yang menjadi
kekhasan bangsa Jepang. Anak-anak menjawab dengan antusias, namun
tertib, mereka mengacungkan tangan tanpa mengangkat suara, dan baru
menjawab sembari berdiri saat ditunjuk. Ibu guru menganjurkan agar
mereka suka memberi hadiah kepada orang lain dengan sesuatu yang indah
dan juga dengan sajian yang indah pula. Kemudian Ibu Guru dibantu dengan
asistennya memberikan contoh cara membungkus berbagai macam hadiah
dengan bentuk yang berbeda-beda.
Bapak kepala sekolah menjelaskan
bahwa yang dipentingkan di sekolah ini adalah memberikan kemampuan
akademis dasar dan pokok selama 6 tahun, kemudian memelihara hati
anak-anak, agar mereka mempunyai hati yang baik terhadap orang tua dan
mampu berkomunikasi baik dengan orang lain. Aktivitas di kelas menjadi
sarana efektif untuk menata hati (membentuk karakter) anak didik. Yang
ditekankan menurut kurikulum nasional untuk anak-anak SD adalah
bagaimana bisa mandiri, mengatur kebutuhan dirinya sendiri, mampu
berinteraksi dengan baik bersama orang lain, berhati-hati, menghormati
orang lain dengan penuh kesopanan, memandang alam termasuk binatang
dengan penuh kasih sayang, menaati peraturan yang disepakati bersama
masyarakat serta menghormati orang tua. Jelas sekali bahwa Jepang sangat
menekankan
pendidikan karakter
dan pembentukan kepribadian sejak dini, karena mentalitas yang baik
bila sudah menjelma menjadi sikap hidup sehari-hari akan membentuk
pribadi yang unggul dan kompetitif.
Penanaman budi pekerti
dilaksanakan melalui semua pelajaran dan kegiatan, tidak dibudayakan
pemberian sangsi kepada siswa/i, mereka hanya akan dievaluasi setiap
minggu apa saja aturan-aturan yang sudah dijalankan, dan apa yang belum.
Wali kelas sangat berperan untuk mengingatkan dan memotivasi anak
didiknya. Namun menurut
catatan
saya, keberhasilan pendidikan karakter bukan semata-mata hasil
pembentukan di sekolah, tetapi memang lingkungan secara umum, baik di
rumah, sekolah, maupun di masyarakat juga sangat mendukung, terutama
keteladanan nyata dari semua pihak.
Naik Shinkansen ke Kyoto
Setelah kunjungan ke SD, kami menuju stasiun kereta super ekspres
Shinkansen untuk melanjutkan perjalanan ke Kyoto. Shinkansen adalah
kereta super cepat yang dikembangkan Jepang sejak tahun 1964, kecepatan
maksimalnya mendekati 300 km/jam, sehingga jarak Tokyo – Kyoto yang
mencapai 600 km bisa ditempuh hanya dalam 2 jam 15 menit. Nama
stasiunnya adalah Singagawa, harga tiketnya 20.000 yen untuk tiap
penumpang. Para penumpang sudah berbaris rapi menjelang kedatangan
kereta, karena kereta hanya berhenti maksimal tiga menit untuk
menurunkan dan menaikkan penumpang. Akurasi waktu sangat tepat dan
sistem keamanan sangat terjamin, karena sejak diluncurkan hingga saat
ini, menurut catatan belum pernah terjadi kecelakaan yang menyebabkan
korban jiwa. Goncangan di dalam kereta saat berjalan tidak terlalu keras
dan masih cukup nyaman untuk tidur. Setiap kali mendekati stasiun
selalu ada
pengumuman
agar para penumpang bisa bersiap diri untuk turun, disebutkan pula
stasiun apa saja yang masih akan kita lewati. Suasana hening, hampir
tidak ada percakapan antar penumpang,
ring tone HP pun dibuat getar tanpa suara supaya tidak mengganggu orang lain.
Modern, nyaman, cepat, akurat, itulah gambaran angkutan umum kereta super cepat Shinkansen.
Kyoto Royal Hotel dan Gion Corner
Setibanya di Kyoto, kami langsung dibawa menuju Kyoto Royal Hotel.
Setelah shalat Maghrib, kami berangkat menuju Fukujyen Kyoto untuk
menyaksikan peragaan budaya minum teh ala bangsawan Jepang dan berbagai
macam kesenian populer rakyat Jepang lainnya. Di daerah Gion Corner bus,
kami melewati jalan yang sempit dan sangat padat dengan pejalan kaki,
tampaknya daerah itu lebih tepat untuk para pejalan kaki dari pada
kendaraan. Rumah-rumah kayu sepanjang jalan dihiasi lampion temaram,
meski terkesan tertutup, tetap terasa adanya denyut kegiatan hiburan
malam di dalamnya. Akhirnya kami sampai di bangunan utama pertunjukan
teater. Pertunjukan itu namanya
Gion Corner Show. Gion Corner terletak di dalam Yasaka Hall, pada sisi utara Gion Kaburenjo Hall, terdapat sebuah teater
unik
yang menyajikan satu jam pertunjukan terdiri dari tujuh macam seni
budaya asli Jepang. Di sana juga ada etalase tempat memajang aneka
pernak-pernik dan aksesoris yang biasa dikenakan oleh para Maiko dan
Geiko. Maiko adalah sebutan bagi gadis Jepang yang sedang “magang”
menjadi Geisha. Sedangkan Geiko sebutan bagi Geisha.
Jepang
memiliki sejarah panjang masa-masa kekaisaran dan dikenal dengan ragam
budayanya yang sebagian masih tetap dilestarikan meski terbatas di
kuil-kuil. Gion Corner sendiri menyajikan 7 ragam budaya, yaitu upacara
minum teh, seni merangkai bunga khas Jepang, permainan Koto kecapi (
zither),
komedi klasik Kyogen, pertunjukan musik istana yang disebut Gagaku
disertai tarian Maigaku, tarian Kyomai yang dibawakan oleh Maiko san,
serta teater boneka Bunraku.
Karena kebanyakan penontonnya turis
asing yang hanya berpesiar saja ke Jepang, tentu banyak di antaranya
yang tak paham bahasa Jepang. Karenanya, semua seni budaya dan adat
istiadat itu mengandalkan kekuatan bahasa tubuh pelakonnya. Meskipun
demikian, tetap saja menarik dan berhasil membuat para penonton
terbahak-bahak. Pesan moral juga selalu diselipkan dalam setiap
ceritanya. Tata panggungnya sangat sederhana, demikian pula
lighting-nya, sesuai dengan harganya yang cukup murah untuk ukuran
Jepang, hanya 2.500 yen.
Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto
Kunjungan ke Pusat Studi Asia Tenggara Universitas Kyoto menjadi agenda
kami berikutnya, Rabu, 23 oktober 2013. Lembaga ini dipimpin oleh Prof.
Okamoto dibantu beberapa peneliti yang juga sebagai dosen di
Universitas Kyoto. Pada kesempatan tersebut kami diterima langsung oleh
Prof. Okamoto, Prof. Ehito Kimura, Prof. Kosuke Mizuno, dan seorang ibu
bernama Aulia Khudhari yang sedang mengikuti suaminya mengambil program
S3 di Jepang, beliau juga mempunyai 2 anak yang sedang belajar di SD
Jepang.
Setelah kami saling memperkenalkan diri, Prof. Okamoto
menyampaikan kata pengantar dan kemudian mempersilahkan Prof. Kosuke
Mizuno untuk memaparkan pembahasannya. Yang menjadi tema diskusi kami
saat itu adalah perbandingan antara sistem pendidikan di Jepang dan
Indonesia. Tentu saja banyak perbedaan yang bisa dipaparkan karena
Jepang sudah termasuk negara maju, sedangkan Indonesia masih sedang
berkembang. Keunggulan di suatu tempat (negara) selalu disertai
kekurangan. Diantara keunggulan yang jelas dalam sistem pendidikan di
Jepang menurut Prof. Mizunio adalah kegiatan ekstra (non-akademis)
termasuk oleh raga yang sangat aktif dilakukan di sekolah oleh para
siswa di Jepang. Mereka memang difasilitasi dengan sarana olahraga,
kesenian, elektronika, keterampilan, dan lain-lainnya secara memadai.
Sementara di Indonesia, meskipun ada jam olah raga, tampaknya alokasi
waktu dan sarananya masih jauh dari harapan. Dalam pandangan Prof.
Mizuna, kegiatan olahraga yang aktif di sekolah sangat membantu proses
pendidikan anak, mulai dari pendidikan jasmani, kesehatan, sportivitas,
kerja sama (
team work) dan pemanfaatan waktu yang efektif, sehingga ketika pulang anak-anak sudah capek dan segera beristirahat.
Yang
kedua adalah masalah pembiayaan. Di Jepang, pendidikan sampai tingkat
menengah (SMU) gratis dan sudah dijamin oleh pemerintah, dengan
fasilitas yang sangat cukup, baik sarana fisik, pergedungan maupun
tenaga pendidik. Sementara di Indonesia terlalu banyak tarikan dana yang
membebani orang tua murid. Hal ini tentu saja menghambat peningkatan
kualitas pendidikan di Indonesia.
Yang ketiga, fasilitas
perpustakaan lengkap. Sekadar contoh, ketika kami berkunjung ke sebuah
SMP, ternyata di sana jumlah koleksi buku perpustakaannya mencapai 58
ribu eksemplar dengan sistem katalogisasi yang serba komputerisasi.
Akibatnya adalah budaya membaca yang cukup tinggi, meskipun kadang yang
dibaca anak-anak bukan pelajaran, tetapi komik. Namun akhir-akhir ini
pengaruh
game dan internet sangat besar dan pelan-pelan
menggusur budaya baca anak muda Jepang. Dalam hal ini Indonsia masih
tertinggal jauh tentunya.
Yang keempat di tingkat Perguruan
Tinggi-nya, di Jepang sudah sangat banyak dosennya yang bergelar guru
besar (Prof) atau minimal doktor, sedang di Indonesia masih sangat
terbatas. Hal ini berpengaruh pada kualitas pengajaran dan penelitian.
Banyak dosen Jepang yang juga menjadi guru besar di berbagai universitas
Amerika dan Eropa.
Yang kelima, di Jepang tidak ada PMP atau P4
yang didoktrinkan seperti di Indonesia, pendidikan agama juga tidak ada,
namun penanaman moral, budi pekerti dilakukan sejak dini. Memang di
kalangan remaja sering timbul problema moralitas anak-anak dan banyak
orang tua yang tidak bisa mengontrol pergaulan anak-anak gadisnya. Dalam
hal ini tampaknya di Indonesia masih lebih baik, karena pendidikan
agama dan lingkungan yang religius ikut mengontrol perilaku anak-anak.
Keenam,
pendidikan di Jepang lebih menitikberatkan pada pembentukan pola piker
kreatif dan bukan hanya memperbanyak pengetahuan secara kognitif kepada
anak-anak, meskipun hal ini masih diperdebatkan, tetapi tampaknya lebih
pas. Di Jepang, anak biasa dilatih berdiskusi, mengikuti berbagai lomba,
dan olimpiade olahraga yang semua itu akan mengasah perkembangan
kemampuan anak.
Dan yang ketujuh adalah peran pendidikan keluarga.
Jepang juga mementingkan pendidikan keluarga terutama sejak dini,
demikian pula di Indonesia. Tetapi mungkin hasilnya berbeda.
Kesimpulannya, dimana-mana ada kelebihan dan kekurangan, tetapi
sebaiknya kita menyadari akan kekurangan kita untuk mengejar kelebihan
dan kebaikan.
Berpose di depan Universitas Kyoto
Ibu
Aulia Khudhari juga bercerita tentang pengalaman mengasuh anak yang
sekolah di Jepang. Intinya, beliau menguatkan apa yang sudah disampaikan
oleh Prof. Mizuno tadi. Ketika dibuka kesempatan dialog dan pertanyaan,
saya menyampaikan penjelasan singkat kepada para profesor bahwa
perbandingan yang dipaparkan barusan adalah benar adanya, tetapi itu
antara sistem pendidikan nasional Indonesia dengan sistem pendidikan
nasional Jepang. Pertanyaan saya, “Apakah para profesor Jepang sudah
banyak meneliti tentang sistem pendidikan pondok pesantren di
Indonesia?” Karena pesantren mempunyai sistemnya sendiri yang jauh
berbeda dengan pemerintah. Bahkan kalau dicermati, banyak kisi-kisi
kesamaan dengan prinsip pendidikan Jepang yang menekankan pada
character building
melalui pembiasaan, keteladanan dan penugasan-penugasan, pembentukan
jiwa mandiri dan aktivitas yang sangat padat untuk penyaluran minat dan
bakat anak didik. Menjawab pertanyaan saya, Prof. Mizuno mengakui memang
beliau belum mengadakan penelitian tentang pendidikan di pesantren,
tapi ada beberapa peneliti Jepang yang menulis tentang pesantren, dan
yang baru saja beliau paparkan memang diakui sama sekali tidak menyentuh
sistem pendidikan pesantren. Karena itu kami mengundang para profesor
untuk berkunjung ke pesantren kami dan mengadakan penelitian di kemudian
hari.
Diskusi terus berkembang dan kami membahas berbagai tema
yang aktual seperti perkembangan Islam di Jepang, mengapa sangat lambat
dibanding di negara Amerika dan Eropa? Menurut para profesor, sebenarnya
Islam juga berkembang di Jepang, karena orang Jepang tidak menghalangi
penyebaran Islam selama tidak bersentuhan dengan negara, hanya saja
citra Islam dan umat Islam di kalangan masyarakat Jepang perlu
diperbaiki: negara-negara Timur Tengah dikenal suka perang, sementara
itu di Asia Tenggara termasuk Indonesia yang mayoritas Islam masih
identik dengan keterbelakangan. Masyarakat Jepang memang mempunyai sikap
agak tertutup dari masuknya budaya dan agama lain, sehingga penyebaran
Islam harus lebih gigih lagi dijalankan dengan cara-cara yang lebih
simpati dan nyata.
Sebagai negara maju bukan berarti Jepang bebas
dari problematika, terutama masalah sosial dan demografi. Banyak anak
muda yang menunda pernikahan, setelah menikah pun mereka enggan
mempunyai anak, mereka harus bekerja, baik suami maupun istri, untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang sangat tinggi di Jepang. Mempunyai anak
dianggap mengurangi produktivitas. Akibatnya angka kelahiran sangat
kecil, meskipun pemerintah sudah menggelontorkan banyak bantuan dan
tunjangan bagi mereka yang mempunyai anak. Sementara itu, usia harapan
hidup di Jepang termasuk tertinggi di dunia, hingga mencapai 84 tahun.
Yang terjadi kemudian adalah piramida terbalik dalam bidang
kependudukan, jumlah manula bisa lebih besar dari anak-anak. Lantas
siapa yang akan mengisi bangku-bangku sekolah, lapangan pekerjaan dan
pelanjut pembangunan Jepang? Itulah masalah sosial yang cukup serius di
Jepang.
(http://www.gontor.ac.id/catatan/catatan-ustadz-suharto-wisata-peradaban-ke-jepang-bagian-iii)